CERITA DARI TANAH PAPUA (2): BERTEMU GURU-GURU HEBAT

“Cepat kemari, sudah ramai,” WA dari partner kami kuterima pagi itu dalam perjalanan menuju ballroom hotel—ruang tempat training dua hari ini akan diadakan. Sesampainya di sana, kulihat puluhan guru bergerombol di depan pintu masuk dan di depan ruangan. Sebagian sedang mengisi presensi, sebagian lain mengobrol atau menikmati hidangan. Ramai sekali, pikirku kala itu, sepertinya lebih dari seratus orang berkumpul di ballroom hotel pagi itu.

Mataku masih berat. Tidur tak lelap sepanjang perjalanan membuat tubuh belum sepenuhnya segar. Aku berdoa kepada Allah SWT untuk diberikan kekuatan, agar dapat memandu sesi pembukaan dengan baik. Setelah persiapan, kami berkenalan dengan beberapa petinggi yayasan yang sudah hadir untuk membuka acara ini. Tak lama kemudian, suara MC terdengar memulai acara pagi ini. Aku segera mempersiapkan diri.

Kegiatan dibuka dengan doa. Seratus lebih guru, pembina, dan pengurus yayasan duduk tenang menyimak sambutan dari manajemen dua yayasan yang menaungi Sekolah Asrama Taruna Papua. Sambutan ini juga menarik hatiku. Perwakilan manajemen mengingatkan kembali tujuan bersama mereka: mencerdaskan anak-anak, demi negeri dan Tanah Papua tercinta.

Data-data terkait kemampuan literasi dan juga fakta di lapangan dijabarkan—tentulah sebagian besar di antaranya kurang menyenangkan hati. Kami menyimak dengan baik, kantukku hilang. Tiba-tiba aku merasa, aku memang harus berada di sini pagi ini. Membantu suamiku berbagi ilmu dan pengalaman tentang Membaca Cepat. Mendampingi guru-guru dalam bertumbuh dan belajar, untuk mendampingi anak-anak. Allah Yang Maha Baik mengaturnya demikian. Sesuatu yang kemudian semakin kusadari setelah training berjalan.

Lebih dari seratus orang peserta, dengan ruangan yang tidak terlalu besar, dan tim trainer yang hanya tiga orang. Saat berangkat aku sempat mengkhawatirkan kelas akan berjalan ramai dan kurang efektif karena kondisi yang kurang ideal. Namun justru yang terjadi sebaliknya. Kelas ini menjadi salah satu kelas terbaik yang pernah kami ikuti. Antusiasme peserta begitu terasa, bahkan saat keterbatasan tempat dan alat membuat mereka kesulitan melihat layar di depan. Pertanyaan demi pertanyaan mengalir, bahkan di saat kelas akan berakhir. Semangat belajar dan mengabdi para guru ini menyentuh dan menyentilku—yang sehari sebelumnya masih enggan berangkat, padahal tugas memanggilku di depan. Masih berharap, “Ah, andai ke Papua ini hanya untuk jalan-jalan.”

Sisa hari itu berjalan tanpa terasa. Kelelahan dan rasa kantukku hilang. Beberapa pertanyaan dan diskusi terasa begitu dekat dengan duniaku yang lain: dunia guru, aktivitas sosial, dan komunitas. Mimpi tentang dunia yang lebih baik, kesetaraan akses, serta kesempatan untuk pendidikan dan kehidupan yang lebih layak. Kami sama-sama bekerja untuk mimpi yang mungkin tidak dibayarkan dunia. Namun, kadang aku terlupa—sehingga masih menginginkan dunia yang lain. Pertemuan dengan para guru ini kembali menyadarkanku akan hal itu.

Pagi itu aku kembali mengerti untuk apa aku berada di sini. Kembali merenungi tujuan hidupku saat ini. Kembali melihat ke mana aku akan berjalan dan di mana sisa waktu akan kuhabiskan. Aku belajar dari para guru ini, untuk menghayati apa pun yang Allah hadirkan di tangan. Bahkan ketika badan terasa lelah, seharusnya aku tetap bekerja dengan kesungguhan dan hati riang. Karena bekerja, bagiku, adalah sebuah jalan menuju tujuan.

CERITA DARI TANAH PAPUA (1): MENEMUKAN KEMBALI MAKNA PEKERJAAN

Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tanah Papua, pulau paling timur Indonesia. Awalnya aku tidak terlalu excited untuk berangkat—mungkin karena faktor usia, atau karena terlalu sering bepergian belakangan ini, membuatku kehilangan semangat untuk menjelajah.

Ditambah lagi, kenyataan bahwa kepergian ke Tanah Papua ini akan sangat menyita stamina fisik, karena waktu kunjungan yang sangat padat. Nyaris tidak ada waktu luang untuk mengunjungi tempat wisata atau meng-eksplorasi kota.

Kami berangkat jam 10 malam menuju Makassar. Butuh waktu 2 jam lebih untuk tiba di sana, untuk kemudian transit selama 45 menit di tengah malam buta, dan melanjutkan perjalanan 3 jam lagi ke Timika.

Tak ada waktu istirahat. Kami hanya bisa sarapan sebentar, membersihkan diri dan langsung menuju ruang ballroom hotel untuk memulai training di pagi hari sesaat setelah kedatangan. Pendek kata, dilihat dari padatnya jadwal, perjalanan ini akan sangat melelahkan.

Dengan hati yang sedikit enggan, kamis pagi aku berkemas. Belum terbayang apakah aku akan sanggup dalam kondisi kurang tidur, memandu ice breaking seperti biasanya dan membantu suami mengendalikan kelas dengan lebih dari 100 orang peserta.

Jam 10 malam kami memasuki pesawat. Aku, suami dan satu orang partner kami. Bertiga kami memulai perjalanan, yang tidak seperti biasanya. Lebih terasa seperti keberangkatan ke LN, tapi tak ada jeda istirahat di antaranya. Sambil bergurau teman kami menganjurkan untuk mengkonsumsi obat tidur atau obat flu, agar bisa tertidur lelap di perjalanan. Aku jelas menolak, biarlah kita lihat saja nanti. Semoga staminaku kuat, pikirku kala itu.

Pagi hari menjelang mendarat, matahari menerpa dari balik jendela pesawat. Aku melihat sekelilingku yang mendung. Meskipun tidak tertidur lelap, Alhamdulillah pagi itu fisikku terasa cukup kuat. InsyaAllah aku bisa menunaikan dengan baik tugas pagi ini.

Saat melihat ke jendela, menikmati perjalanan, aku tiba-tiba tersadar. Entah untuk keberapa kalinya aku berada di dalam pesawat dan duduk memandang awan. Hidupku sangat akrab dengan perjalanan. Takdir untukku sepertinya adalah bepergian. Bertemu beragam orang, melihat tempat baru, merasakan petualangan baru. Takdir yang mungkin diinginkan oleh banyak orang.

Tiba-tiba aku tersadar, tidak sepantasnya aku mengeluh dan bermalas-malasan. Takdir hidup digariskan dengan tujuan. Bekerja bagiku adalah liburan. Allah mengaturnya demikian. Aku mungkin tak diberi kemudahan untuk hanya berlibur saja, menikmati banyak tempat tanpa harus dikejar-kejar pekerjaan. Tapi memang itulah kadarnya. Kadar yang sudah Dia tentukan untuk aku nikmati dalam perjalanan di dunia. Kadar yang mungkin akan mengantarkanku pada misi hidupku yang sebenarnya. Alasan kenapa aku hadir di dunia ini.

Di pagi hari itu, di atas penerbangan menuju Timika, aku menyadari masih kurang bekerja dengan sukacita. Aku masih berharap melebihi ukuran yang ditetapkan-Nya. Padahal bisa jadi itu adalah takaran paling pas untukku menikmati dunia, tanpa tergelincir di dalamnya.

Bumi Papua yang hijau. Hatiku tertinggal di Timika
Para peserta training Speed Reading: Para Guru, Pembina dan Pengurus Yayasan SATP
Foto dulu sebelum bekerja

De Clan Kafe

Nemu tempat ini saat sedang muter di Depok menyelesaikan beberapa urusan. Tempatnya di pinggir jalan Tole Iskandar, sebelum Bella Casa kalau dr arah depok timur/tip top ke siliwangi/margonda. Saat sedang ngider, eh kelihatan lah tempat ini. Kebetulan lapar dan capek serta masih nunggu satu urusan lagi di depok yg baru bisa diberesin di atas jam 2, maka mampirlah ke sini.

Nama kafenya ‘De ‘Clan’, tempatnya cozy banget indoor maupun outdoornya. Areanya luas, dan di outdoor ada room-room kecil lagi yang bisa dibooking utk arisan, meeting dan sejenisnya sepertinya. Hal yang paling penting ada mushollanya yang juga nyaman. Mushollanya cukup luas juga, meskipun kalau sdg full mgkn harus ngantri jg. Toiletnya bersih dan ada fasilitas utk wudhu sendiri, yg gabung antara laki-laki dan perempuan.

Yang saya suka banyak pohon-pohon dan bunga-bunga di area outdoor, bikin suasana jadi asri. Ditambah lagi ada burung kakak tua dan ikan-ikan Koi yang menyenangkan utk dipandang. Bunga anggrek bertebaran dimana-mana, pokoknya bikin mata nyamanlah dan betah duduk lama-lama di sini.

Selama saya duduk menunggu di sini seorang diri (asikk), terdengar alunan lagu-lagu patah hati dari jaman 2000 awal sampe sekarang. Buat yang sedang merana, tampaknya kalau ke sini bawa teman ya, jangan sampai jadi duduk menangis tersedu sedan di pojokan terbawa suasana. Kasihan nanti waitressnya kebingungan lihat kamu 😄.

Buat saya sih ini resto dan kafe untuk segmen keluarga dan menengah ya. Jadi bawa anak ya silakan saja. Area parkir cukup luas juga di depan kafe. Kalau soal harga, ya masih standar harga kafe di Depok lah. Semangkok mie tek-tek dan es caffe latte harganya 67 ribu udah termasuk tax dan service sptnya. Kenapa pesan mie tek tek Put? Krn saat itu saya sedang gak doyan nasi. Entahlah ini penting banget utk disebut atau enggak, abaikan aja kalau gak penting 😆.

Saya rasa sih kalau mau ke sini jangan weekend, karena pasti rame, apalagi jalan raya tole iskandar itu lumayan macet kalau pas weekend.

Ya sekian laporan pandangan mata penting gak penting ini. Semoga bermanfaat utk mak-mak yg hobi ngumpul atau kabur sendiri sejenak kayak saya 😆.

KAFE KUCING

Beberapa tahun lalu kami berkesempatan main ke @bilikkucing cat cafe yang ada di Kukusan Depok. Bertemu dengan kucing-kucing lucu sambil menikmati hidangan yang terjangkau harganya.

Kafe ini terdiri dari dua lantai, lantai satu untuk makan, lantai dua tempat para meong berdiam. Kita bisa makan juga di lantai dua, sambil bermain dengan kucing. Sebagian besar kucing-kucing ini adalah kucing yang ditemukan di jalan, lalu direscue dan bisa diadopsi jika ingin memelihara mereka.

Sejak kematian Simmy, dan saat saya tinggal di apartemen, kami sempat tidak memelihara kucing. Sehingga kafe ini bisa menjadi pengobat rindu bermain dengan kucing-kucing lucu. Saat ini kami punya kucing piaraan lagi, namun tidak banyak, sehingga tetap saja kafe ini layak dikunjungi jika ingin bermain dengan kucing-kucing dari beragam ras.

InsyaAllah jika ada kesempatan, kami akan kesini lagi.

Short Trip To Batam

Ini pertama kalinya saya datang ke Batam. Pulau kecil dekat dengan Singapura ini mengingatkan saya pada trip bertahun-tahun lalu ke Tanjung Pinang. Konturnya mirip, berbukit-bukit naik turun, dengan pemandangan laut di sekitarnya. Kota Batam cukup padat dengan pemandangan gedung pencakar langit di beberapa tempat.

Datang sudah menjelang malam, kami menyempatkan diri untuk menikmati suasana malam di Batam. Saya tidak tahu persis tempatnya, namun cukup ramai dengan para pembeli menjelang malam tiba. Hanya saja khas tempat makan ala food court di tempat terbuka begini, para pedagang berebutan menawarkan menu-nya dan menimbulkan perasaan tidak nyaman karena ada insiden kecil terkait makanan siapa yg harus dipesan.

Esok harinya kami menyempatkan diri mengunjungi icon Kota Batam, yaitu Jembatan Balerang, setelah training seharian penuh. Jembatan ini adalah jembatan yang menghubungkan beberapa pulau di kota Batam. View nya indah sekali, namun anginnya kencang membuat saya tidak bisa berdiri terlalu lama menikmati pemandangan. Selain itu tidak ada tempat duduk-duduk yang nyaman juga utk menikmati ini. Mungkin ada, cuma karena keterbatasan waktu, kami tidak sempat mencari tahu. Selain itu badan saya mulai meriang di hari kedua ini, sepertinya karena kelelahan dengan jadwal yg cukup padat di beberapa pekan ini.

Tidak banyak yang kami kunjungi karena kunjungan kali ini singkat sekali. Akan tetapi saya bersyukur, karena Allah mengabulkan doa saya untuk berkunjung ke kota-kota yang belum pernah saya datangi sebelumnya. Semoga setelah ini juga dimudahkan untuk berkunjung di berbagai kota di mancanegara.

Amin amin ya Allah…