HARUS
Beberapa hari yang lalu saat sedang mempersiapkan diri ke kelas yoga, saya tiba-tiba sadar tidak menyiapkannya dengan hati riang. Rasanya lebih ke arah terpaksa karena ‘harus’. Saya harus yoga, harus berenang, harus olahraga, agar badan saya tetap fit atau tidak memburuk kondisinya. Harus harus harus.
Saya kemudian bertanya-tanya kalau olahraga tanpa senang hati begini, kira-kira dampaknya masih akan sama gak ya? Padahal idealnya kan harus menjalani dengan riang, agar endorfinnya keluar dengan senang juga. Mood pun menjadi lebih baik. Ya meskipun tetap saja setelahnya perasaan rileks dan segar tetap menghasilkan endorfin, tapi saya percaya kalau berangkat dengan perasaan riang, hasilnya akan lebih baik.
Harus harus harus. Tiba-tiba saya kepikiran lagi dengan satu kata ini, yang sebenarnya sudah saya sadari sejak beberapa tahun lalu. Pertama kali saya menyadari adanya false beliefs atau waham ini di saya saat sedang kuliah Cognitive Behaviour Therapy, beberapa tahun yang lalu.
Pola asuh yang cukup keras dari ibu, kewajiban melakukan ini itu, membentuk saya menjadi pribadi yang tidak hanya mandiri, tapi juga seperti mewajibkan diri melakukan segala yang sudah saya targetkan atau rencanakan.
Wajib mengikuti jadwal ini, wajib mengikuti kegiatan itu, wajib melakukan ini itu. Inner child saya seperti mendengar ibu yang berulang kali mengingatkan harus begini dan begitu, padahal kondisinya sudah jauh berubah. Saya tidak lagi ada dalam situasi ‘harus’ dari orang lain. Sekarang ‘harus’ ini dikomando dari dalam. ‘Harus’ yang dibuat sendiri, dan bikin stres diri sendiri.
Harus harus harus. Beberapa tahun terakhir saya mulai melihat masalahnya. Tidak ada yang mewajibkan saya untuk mengikuti jadwal yang saya tetapkan sendiri. Tidak ada juga yang memaksa untuk melakukan apa yang saya inginkan. Tidak ada sama sekali. Saya yang mem-push diri sendiri, saya juga yang kemudian stres karena tekanannya. Padahal ketika saya melihat ulang, ada banyak target yang bisa dikendorkan. Ada banyak jadwal yang bisa ditata ulang, ada banyak hal yang gak harus dilakukan.
Harus harus harus. Saya kemudian belajar menata pikiran saya kembali. Duduk diam, melihat ulang, memperhatikan apa yang ada di kepala saya, mendengarkan apa yang sesungguhnya saya inginkan. Kenapa saya melakukan ini? Siapa yang mewajibkannya? Apakah itu benar-benar harus? Atau hanya obsesi atau perasaan khawatir yang berlebihan jika tidak terlaksana? Apa dampaknya buat saya, untuk orang-orang yang saya cintai jika saya lakukan atau tidak saya lakukan? Kalaupun memang harus, seperti apa sebenarnya saya harus melakukannya? Apa memang harus dengan cara tertentu atau sebenarnya bisa dengan cara lain melakukannya? Dan lebih banyak lagi.
Pelan-pelan kemudian dengan pertolongan Allah saya bisa mengelola pikiran ‘harus’ ini. Badanpun bereaksi dengan cara berbeda ketika ‘harus’ ini mulai bisa dikendalikan. Maag berkurang, otot yang sering tegang mengendur, kualitas tidur menjadi lebih baik. Hidup rasanya jauh lebih dinikmati.
Masih panjang perjalanan mengelola mental ‘harus’ ini. Sesekali dia masih muncul di permukaan, yang kemudian saya kenali dalam bentuk berbeda, seperti tekanan untuk berolahraga tadi.
Semoga setiap hari makin bisa dikenali dan dikelola dengan lebih baik lagi.
Amin ya Rabbal ‘alamin.