TENTANG POHON

Beberapa tahun yang lalu saya berbincang-bincang dengan seseorang tentang bencana banjir di suatu daerah. Menurut beliau, meskipun bencana terjadi atas ijin-Nya, namun pengelolaan kita terhadap alam yang kita tinggali ini harus diperbaiki. Banyak hutan dibuka, pohon ditebangi, entah untuk dijadikan pemukiman ataupun perkebunan, yang akhirnya menghambat penyerapan air.
Berbicara tentang pohon, tiap pohon punya karakternya sendiri, punya manfaatnya sendiri, kata beliau. Pohon-pohon tertentu hanya cocok tumbuh di lingkungan tertentu, berkaitan dengan fungsinya. Jadi kita tidak bisa asal tebang ganti dengan pohon apa saja. Harus sesuai dengan karakter lingkungan dan jenis pohon itu sendiri. Dari percakapan ini saya baru paham tentang karakter pohon yang berbeda-beda ini.
Kemudian saya teringat banyak sekali perumpamaan tentang pohon di Al-Quran. Di antaranya Pohon yang berbuah sesuai namanya, sesuai kehendakNya, sesuai fitrahnya. Pohon ini merujuk pada insan yang sudah paripurna, hidup dalam kehendakNya, sehingga ‘buah’nya (karyanya) bisa dinikmati orang banyak. Tidak hanya secara duniawi, karyanya juga menyegarkan jiwa.
Perumpamaan lain adalah tentang pohon yang dahannya menjulang ke langit dan akarnya menghunjam bumi. Orang-orang yang teguh pijakannya, terhubung dengan langit, tidak mudah goyah oleh apapun yang datang padanya.
Setiap pohon berbuah sesuai dengan namanya. Tidak ada ceritanya pohon rambutan berbuah durian dan sebaliknya. Atau pohon toge pengen jadi pohon mangga. Semua berjalan dan tunduk pada tujuan penciptaannya. Ikhlas, dan berserah, bersedia diarahkan, sehingga terasa sekali manfaatnya. Pohon tidak pernah protes, bersedia dibentuk oleh penciptaNya, karena tahu betul kekaryaan-Nya adalah yang terbaik.
Sebaliknya kita manusia selalu ingin keluar dari kodrat diri. Kita senang sekali mengatur-ngatur hidup. Harus begini dan begitu. Jadi Tuhan untuk diri sendiri. Kita jarang sekali melihat ke dalam, jarang introspeksi diri dan bertanya sebenarnya manusia seperti apa kita ini? Seberapa besar kapasitas kita, apa kelebihan dan kekurangan kita. Kita, saya lebih tepatnya, lebih senang meloncat-loncat dari sirkuit, membuktikan diri, daripada menemukan apa yang membuat khasanah di dalam diri mengalir.
Kita lebih senang mengambil urusan yang lebih dipandang di mata manusia. Tanpa pernah bertanya ini sebenarnya urusan saya atau bukan. Tidak heran banyak kerusakan yang muncul, karena manusia, yang konon katanya khalifah Allah ini, alih-alih memimpin semesta, memimpin segala hewan liar dalam diri saja masih banyak gagalnya. Buta mata hatinya, sehingga khasanah besar ttg diri sendiri, tak tampak lagi.
Ah saya jadi malu sendiri sama pohon .