Menjadi Harapan

Minggu lalu saya akhirnya menghabiskan serial TV ‘Tunnel’ versi Indonesia, bersama keluarga. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari jalan ceritanya, namun gambaran tentang masa kecil pelaku kejahatan membuat saya berpikir kembali tentang dinamika kehidupan manusia.
Dalam cerita ini digambarkan ada dua pelaku pembunuhan berantai yang memiliki latar belakang nyaris sama. Pelaku pertama adalah seorang dukun sakti, yang masa kecilnya merupakan korban bully dan hubungan yang kurang baik dengan ibunya. Pelaku kedua merupakan seorang dokter bedah, yang sangat dekat dengan ibunya, namun sayangnya besar di lingkungan yang tidak baik (ibunya seorang P*K). Dua pelaku ini membawa ‘dendam’ masa kecil untuk menghukum orang-orang yang menurut mereka bersalah.
Cerita tentang pelaku kejahatan yang memiliki latar belakang keluarga atau masa kecil yang menyedihkan sering kita tonton atau dengar. Yang paling terkenal mungkin Joker, yang quote nya tentang Orang Jahat Merupakan Orang Baik yang Tersakiti, beberapa kali melintas di beranda saya.
Yang agak fenomenal juga adalah Sybill dan Billy Milligan. Dua-duanya besar di lingkungan keluarga yang ‘rusak parah’ sehingga mengalami gangguan kepribadian Diasosiatif. Dua-duanya nyata dan terjadi di dunia.
Setiap kali mendengar tentang bagaimana seseorang bisa menjadi orang jahat, atau ‘rusak’ karena masa kecil yang suram, kita mungkin akan langsung memahami kenapa dia demikian. Mengangguk-anggukan kepala, dan ikut bersedih, dan mungkin cenderung hilang harapan karena merasa wajar sang pelaku jadi begitu. Tapi benarkan selalu begitu? Saya sendiri agak merasa terganggu belakangan dengan penggambaran ini.
Jawaban kemudian datang dari cerita seorang teman psikolog yang sedang menangani sebuah kasus. Dia bercerita tentang kehidupan seorang anak remaja, dari latar belakang keluarga yang terpecah belah, hidup sendiri terpisah dari kedua orang tua, diabaikan dan nyaris tidak pernah berhubungan. Singkatnya masa kecil anak ini cukup gelap sehingga terlihat wajar ketika dia bertumbuh menjadi pribadi yang kurang baik. Bermasalah dengan sekolah, dengan banyak hal dalam hidupnya, anak ini nyaris hilang harapan. Sampai kemudian dia menemukan seseorang, yang bersedia jadi orang tua angkatnya.
Sang orang tua angkat ini menerima si anak dengan segala perilakunya dengan sepenuh hati. Benar-benar sepenuh hati. Ketika dia sedang kacau, hilang, membuat onar, mereka menerima. Ada masa-masa si anak ini juga merasa putus asa dan kembali pulang ke rumah mereka. Saat itulah mereka menasihati, melayani dan menunjukkan kasih sayang tulus padanya. Perlahan anak ini kemudian berubah. Perlahan tapi pasti tidak ingin mengecewakan orang tua angkatnya ini. Cerita ini benar-benar terjadi di sekitar kita.
Ketulusan. Sepertinya kata ini yang tepat menggambarkan keberhasilan orang tua angkat ini membenahi si anak yang ‘bengal’ dan mungkin sudah dibiarkan saja oleh orang lain. Pure Love. Cinta yang murni, yang menerima apa adanya. Yang mengampuni, yang memaafkan, menerima kembali, setiap kali si anak melakukan kesalahan. Persis seperti Cinta Tuhan.
Buat saya pribadi cerita tentang si anak angkat dan orang tuanya ini memberikan harapan. Seburuk apapun keadaan, ternyata kita -orang lain- bisa jadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menolong mereka yang kurang beruntung, untuk keluar dari keadaannya.
Kita, bisa jadi harapan baru bagi gelap dunia mereka. Mungkin lewat senyum yang kita berikan, sapa tulus yang kita lontarkan, telinga yang kita siapkan untuk mendengarkan. Hal kecil penuh ketulusan ini, bisa mengubah dunia seseorang.
Apakah ada harapan? Selalu ada, dan kitalah salah satu harapan itu.