IBU
Anakku sakit. Sudah beberapa hari ini badannya panas. Diagnosa dokter dia terkena demam tifoid atau gejala tifus bahasa awamnya. Alhamdulillah setelah istirahat, makan sesuai anjuran dan minum obat, kondisinya perlahan-lahan membaik.
Sakitnya ini membawaku ke ingatan ketika mengalami sakit yang sama, di usia yang tidak jauh berbeda. Puluhan tahun yang lalu. Aku harus istirahat kurang lebih dua Minggu saat itu. Ibu menjaga asupan makananku dengan ketat, sama seperti aku menjaga Banua sekarang. Hanya makanan yang lunak, tidak boleh pedas atau asam.
Berkali-kali rasanya ingin makan sesuatu yang sesuai selera, tapi ibu selalu berkata saat itu, ‘sabar ya, kalau nanti sembuh, insyaAllah ibu buatkan apapun yang kamu mau.’ Hal yang sama yang juga kukatakan pada Banua, ‘sabar ya, nanti kalau adek sudah sembuh, insyaAllah kita beli apapun yang adek mau.’
Bagaimana ibu merawatku kala sakit, menjadi model bagaimana aku merawat anak-anak kemudian ketika ada di situasi yang sama. Belakangan aku menyadari betapa apa yang beliau lakukan mempengaruhiku dalam membesarkan anak. Positif maupun negatif, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Begitulah ibu. Tanpa disadarinya mungkin, dia jadi referensi anak-anaknya, terutama anak perempuannya, bagaimana mengelola urusan domestik dan memaknai peran sebagai perempuan. Tentu tidak hanya hal baik sebenarnya, hal negatif termasuk reaksi emosi juga sering diturunkan dari ibu kita, karena secara tidak sadar modeling terjadi sepanjang proses interaksi dengannya.
Dalam obrolan mendalam dengan seorang teman, kami sama-sama bersepakat, database kita tentang perilaku orang tua, menjadi referensi kita juga dalam berperilaku, apalagi ketika kita kemudian tidak punya referensi lain. Teman ini bercerita bagaimana bertahun-tahun dia tidak menyadari bahwa dia mengulang pola perilaku ibunya yang dia tidak sukai, dalam hubungan dengan orang lain. Pemahaman ini baru muncul ketika digali oleh psikolog yang mendampingi dirinya. Momen ketika dia mulai berubah adalah momen ketika dia menyadari hal ini.
Menjadi ibu yang berkesadaran penuh terhadap kondisi diri, tampaknya menjadi hal yang sangat penting dalam membesarkan anak. Apa yang sudah baik yang dilakukan orang tua terhadap kita, yang kita tiru mungkin secara tidak sengaja, dan apa yang secara tidak sengaja juga kita adopsi dan kemudian menimbulkan masalah untuk orang lain atau keluarga kita? Dua hal ini sepertinya perlu secara berkala kita tanyakan.
Menjadi orang tua artinya refleksi terus menerus, melihat ke dalam terus menerus, menerima feedback terus menerus, menelusuri terus menerus seluruh peristiwa hidup, bersedia berubah terus menerus. Saya menyebutnya menjadi ibu atau orang tua yang berkesadaran. Sadar dan bersedia berubah dan bertumbuh setiap waktu.
Semoga Allah menganugerahi kita kesadaran ini, dan memberi kekuatan bertumbuh bersamanya.