SEORANG PEMUDA DAN MOBIL MOGOK: SEBUAH KISAH KEBAIKAN HATI

Kamis sore, seperti biasa aku pulang dari kantor setelah seharian bekerja. Sore itu aku menggunakan taksi online yang kupesan setelah suami mengantarkanku ke titik jemput seperti biasanya. Hari itu bukan jadwalnya bermalam di rumahku, jadi aku akan pulang sendiri seperti biasa.
Perjalanan lancar sejak kami berangkat hingga turun di pintu tol terdekat dari rumahku. Hari menjelang maghrib; menurut perkiraan di Google Maps, aku akan tiba sekitar sepuluh menit lagi.
Sang driver tidak banyak mengajakku berbicara, tipe yang aku sukai karena aku cenderung ingin menghabiskan waktu sendiri dalam perjalanan pulang. Seorang laki-laki berusia cukup tua, mungkin di atas lima puluh tahun, atau bahkan lebih dari enam puluh.
Tiba-tiba mobil berhenti tak jauh setelah belokan begitu kami keluar dari pintu tol. Aku kaget, begitu juga dengan Pak Sopir, terdengar dari suaranya. “Astaghfirullah, bensinnya habis, Bu,” katanya dengan suara agak bergetar.
Aku hanya melongo, tidak menyangka akan ada drama sore itu. Mobil berhenti tepat di tengah jalan. Suara klakson dari mobil-mobil di belakang terdengar. Entah karena kaget, entah karena kesal, karena ada mobil yang tiba-tiba menghalangi jalan.
Pak sopir mencoba men-starter mobil kembali. Alhamdulillah, mobil bisa menyala sebentar sehingga dia bisa meminggirkan kendaraan ke tepi. Setelah itu mesin mati total. Tampaknya tak ada lagi bensin tersisa untuk melajukan kendaraan.
Kulihat dua pemuda tanggung sedang memarkir motor di depan salah satu toko. Aku berinisiatif memanggil mereka. Salah satu datang mendekat. Seorang pemuda berambut gondrong, diwarnai kuning kemerahan. Kulitnya gelap, khas orang yang ditempa kerasnya hidup di kota. Penampakannya seperti pemuda yang hobi nongkrong di pinggir jalan bersama teman-teman. Menghabiskan waktu menghibur diri di tengah kerasnya hidup.
“Mobilnya kehabisan bensin,” jelasku. “Apa ada pom bensin atau yang jual bensin eceran di sekitar sini?” Dia mengatakan bahwa pom bensin Pertamina masih sekitar satu–dua kilometer lagi. Kami menanyakan apakah dia bersedia membelikan bensin eceran. Dia pun mengangguk. Pak sopir menyerahkan uang padanya.
Sebelum pergi, anak muda itu berinisiatif membantu mendorong mobil ke pinggir agar tidak menghalangi jalan. Itu bukan hal mudah, karena mobil dalam keadaan mogok. Awalnya dia mendorong sendirian dari belakang. Aku berinisiatif turun agar mobil terasa lebih ringan. Pak sopir juga turun, membantu mendorong sambil mengendalikan setir. Hatiku terenyuh melihat kebaikannya.
Tak lama dia berangkat menggunakan motor mencari bensin eceran. Hanya sekitar lima menit kemudian dia kembali, membawa bensin dalam kantong plastik dan membantu menuangkannya ke tangki. Setelah selesai, dia tersenyum.
Pak sopir menjabat tangannya erat, mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Ada raut bangga di wajah anak muda itu. Bangga karena berhasil meringankan kesulitan orang lain. Aku pun ikut bangga.
Malam itu, di pinggir Jalan Raya Bogor yang ramai dan berdebu, aku menyaksikan kemurahan hati dalam wujud seorang pemuda. Bukan dalam tubuh yang berbalut sorban atau gamis panjang, tetapi dalam sosok pemuda urakan yang mungkin sudah kenyang ditempa kehidupan.
Dia mengajarkanku bahwa sifat Rahman dan Rahim Tuhan hadir di mana-mana, tak terbatas bentuk lahiriah. Dia ada di jalan besar, dalam tubuh orang yang mungkin membuat was-was saat dilihat. Namun kebaikan hatinya terpancar jelas di tengah malam yang mulai gelap.
Wahai anak muda yang baik hati, semoga kemurahanmu membawa rahmat dan pertolongan-Nya dalam hidupmu. Terima kasih sudah menyalakan secercah harapan tentang negeri ini. Bahwa Indonesia tetap menyimpan orang-orang penolong, meski hidup mungkin juga tidak mudah bagi mereka. InsyaAllah, negeri ini tidak akan hancur selama masih ada orang-orang berhati baik sepertimu.
