Yang Tumbuh Bukan Hanya Tanamannya

Kala melihat tanaman mulai berbunga, daun hijau bermekaran dan lembaran warna-warni yang segar pagi ini, saya seperti melihat kembali perjalanan saya dalam mencoba mengenal diri terutama terkait identitas keperempuanan saya.
Dulu, saya bukanlah pencinta tanaman. Saya senang suasana hijau di rumah, tapi cenderung menyerahkan pengelolaannya pada orang lain. Ditambah lagi isu sensori pada indra taktil/peraba, membuat saya merasa geli atau jijik ketika memegang tanah. Rasanya ingin cepat-cepat mencuci tangan karena membayangkan kuman, bakteri, ulat, dan segala yang ada di dalamnya. Singkat cerita, saya dulu berpikir saya adalah “si tangan panas” yang tidak sabar dan tidak telaten merawat tanaman. Sebuah asumsi yang saya bawa bertahun-tahun.
Sehari-hari, sejak dulu saya berkutat dengan perencanaan, monitoring program, dan evaluasi. Pekerjaan yang banyak menuntut kemampuan konseptual, berpikir kritis, mengelola sumber daya dan tim. Terlebih, hampir setengah perjalanan karir saya lebih dekat dengan dunia bisnis: memulai usaha, mengelola, membaca pasar, merencanakan pengembangan yang strategis, mengeksekusi, dan menjaga relasi dengan para pemangku kepentingan.
Aktivitas-aktivitas ini, jika dilihat dari aspek maskulin dan feminin, lebih banyak condong ke maskulin. Jika dilihat dari teori hormon, aktivitas ini cenderung meningkatkan testosteron dibanding estrogen yang identik dengan sifat merawat, menjaga, dan melayani. Singkatnya, meskipun tampilan saya perempuan, di dalam rasanya lebih “laki-laki”, ditambah pula watak dominan yang memang sudah ada sejak lama.
Hingga beberapa waktu lalu, kucing kesayangan saya mati. Suami meminta saya berhenti dulu memelihara kucing, karena dia kurang nyaman jika ada kucing di dalam rumah. Dengan berat hati saya menyetujuinya. Pasca tidak ada kucing, saya seperti induk kehilangan anak. Anak-anak sudah besar, sehingga biasanya waktu luang saya terisi dengan memelihara kucing: mempersiapkan makanannya, membawa ke dokter jika sakit, memanggil groomer, membersihkan litter, dan seterusnya. Ada ruang kosong di pagi hari yang terasa ganjil.
Saya kemudian berpikir, apa yang bisa saya lakukan? Saat itu terbersit keinginan untuk mencoba memelihara tanaman. Belakangan memang saya sering melihat video tentang pentingnya ketahanan pangan mandiri, dan sahabat baik saya juga pernah mengatakan bahwa bercocok tanam adalah salah satu teknik grounding. Suatu hari ada tukang tanaman lewat di depan rumah, saya memanggilnya, dan dimulailah perjalanan ini. Suami secara khusus meminta saya menanam melati, karena ia menyukai aromanya. Permintaan yang awalnya berat saya terima, karena di kepala saya melati identik dengan Mbak Kunti, hehe.
Demikianlah kemudian saya mulai belajar merawat tanaman. Aktivitas pagi di balkon kini dimulai dengan menyiram mereka, memperhatikan batang, daun, dan tanahnya. Pernah suatu kali tanaman melati saya hampir mati setelah berbunga banyak sekali. Saya kemudian paham, bagi melati (dan mungkin tanaman pada umumnya), berbunga itu membutuhkan energi besar. Keindahan dan keharuman ternyata memerlukan pengorbanan, sehingga setelahnya ia membutuhkan media tanam baru yang lebih segar dan bergizi.
Saya pun mengganti potnya, menambah tanah, memberi pupuk organik cair berkala, serta ‘pupuk’ alami seperti air cucian beras atau daging, bahkan penyedap rasa Sasa yang konon katanya disukai tanaman. Alhamdulillah, kini tanaman-tanaman itu tumbuh subur. Melati kembali berbunga beberapa kali. Bunganya saya hadiahkan kepada suami sebagai wewangian yang menemaninya bekerja. Satu tanaman bahkan sudah begitu rimbun sampai perlu dipindah anakannya. Balkon rumah pun terasa hijau dan hidup.
Setiap kali melihat tanaman-tanaman itu, hati saya terasa bahagia. Meski tidak bisa berbicara seperti kucing, warna dan kesegarannya memanjakan mata. Beberapa hal dalam diri saya juga terasa berubah, sejalan dengan pertumbuhan tanaman ini. Saya yang dulu merasa tidak telaten ternyata bisa merawat tanaman dengan baik. Saya belajar menumbuhkan sisi diri yang sebelumnya kadang terabaikan: sifat merawat, menjaga, dan sifat-sifat keperempuanan lain yang ternyata membuat jiwa saya terasa lebih lengkap. Alhamdulillah, saya bersyukur kepada Allah SWT yang mendorong saya mencoba sesuatu yang dulu saya pikir “bukan saya”, namun ternyata sangat bermanfaat bagi pertumbuhan batin.
Saya belajar untuk tidak membatasi diri, dan berani mencoba hal-hal baru, terutama yang mengasah sisi feminin saya. Saya teringat isi buku John Gray Beyond Mars and Venus, bahwa perempuan secara natural memiliki dorongan untuk merawat, mengasuh, dan menyayangi. Sisi ini sering tertekan di dunia kerja modern yang meningkatkan testosteron karena tuntutan logika dan pengambilan keputusan. Untuk menyeimbangkannya, perempuan perlu kembali pada aktivitas yang menghidupkan estrogen: merawat, menjaga, dan memelihara, dan hadir secara penuh dalam relasi. Saya merasakannya dalam merawat tanaman, menyediakan kebutuhan anak-anak dan suami. Sebagai penyeimbang dalam aktivitas harian perempuan pekerja yang menuntut segalanya serba cepat, logis dan terarah. Keseimbangan dua sisi ini terasa membantu saya berkembang lebih optimal, lahir dan batin.
#lifestory
#lifejourney
#selfreflection
