| | |

Jasad, Jiwa, Ruh: Jalan Panjang Memahami Manusia.

Jasad, Jiwa, Ruh.

Tiga hal ini langsung terbayang dalam benak saya saat sedang membaca buku The Body Keeps The Score karya Bessel Van Der Kolk. Buku ini bercerita bagaimana peristiwa traumatis dapat tersimpan dalam tubuh seseorang. Reaksi-reaksi biologis yang terjadi disebabkan kerja otak memungkinkan seseorang bereaksi dengan reaksi yang sama saat peristiwa traumatis terjadi, bahkan sebelum dia dapat mengingat peristiwa tersebut.

Buku yang menarik ini mengingatkan saya pada kuliah Neuropsychology, salah satu mata kuliah yang saya sukai karena menjelaskan secara rinci apa yang terjadi dengan otak kita. Dari otak primitif hingga otak prefrontal yang bertanggung jawab terhadap penalaran dan pengambilan keputusan kita. Otak menjadi komando untuk menganalisis situasi, bagaimana kita mempersepsi, dan bertindak terhadap situasi tersebut.

Jasad, Jiwa, dan Ruh.

Pada bagian tertentu, buku ini juga melibatkan bagaimana reaksi emosi terbentuk. Saat situasi genting, amygdala kita mengambil alih dan bisa membajak otak rasional, bahkan area broca (otak “bicara”) terhenti, sehingga kita tak sanggup berkata-kata saat peristiwa sulit terjadi. Bagian ini sebenarnya mirip dengan fungsi pada hewan—menjaga keberlangsungan hidup kita sebagai manusia.

Jasad, Jiwa, Ruh.

Saya pernah membahas sebelumnya bahwa manusia sungguh kompleks. Saat saya kembali mendalaminya, kompleksitas itu semakin terasa. Stimulus yang masuk lewat indra, sinyal yang dikirim oleh otak, persepsi yang dibentuk berdasarkan pengalaman dan memori yang sudah ada sebelumnya, serta reaksi-reaksi di otak atau batang otak yang membuat kita bertindak—entah berdasarkan otak rasional atau emosional.

Ada jutaan sel syaraf, dengan bagian-bagian yang mengatur secara spesifik kemampuan kita: area Broca untuk bicara, sistem limbik untuk emosi, prefrontal untuk menalar, talamus dan hipotalamus, dan lain sebagainya yang sering kali tidak kita sadari keberadaannya. Itu baru otak. Kita belum bicara tentang sistem sensori, organ-organ internal—ginjal, hati, hormon-hormon, dan sebagainya. Sungguh kompleks. Sebuah gambaran dunia dalam diri kita yang sering kali tidak kita sadari keberadaannya.

Jasad, Jiwa, Ruh.

Sebagai manusia, kita tidak hanya terdiri dari jasad saja. Dalam bungkus jasad ini tersimpan jiwa. Insan yang utuh bukan dikendalikan oleh jasadnya. Ia yang telah memahami tujuan penciptaannya di muka bumi. Insan yang fisiknya bekerja, namun terhubung dengan Ilahi. Insan yang telah memiliki furqan di dirinya, tidak lagi dibajak oleh jasadnya.

“Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),”

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”

Demikian Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Asy-Syams ayat 7–8, untuk memberitahukan pada kita keberadaan sang jiwa ini. Sebagian besar dari kita, termasuk saya, sering kehilangan akses pada jiwa ini, bahkan tidak menyadarinya. Kita baru sadar saat kita mati, saat jasad selesai tugasnya di dunia ini.

Bagaimana dengan Ruh?

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”

(QS. Al-Isra [17]: 85)

Tentang ini bahkan lebih sedikit lagi yang mengetahui.

Apa artinya? Bahkan untuk memahami diri kita saja, kita belum mampu.

Apa yang harus kita lakukan? Hidup yang tidak direnungi adalah hidup yang tidak pantas untuk dijalani. Demikian salah satu ungkapan dari salah satu filsuf yang saya ingat hingga kini. Merenungi diri kita, adalah merenungi esensi kita sebagai manusia.

Mulailah dari yang paling bisa kita akses—fisik kita. Saat sakit belakangan ini, saya mulai menyadari keberadaan fisik saya yang sering saya abaikan. Saya mulai mempelajari pikiran-pikiran saya sendiri, emosi yang saya rasakan. Saya mulai belajar mengenali jejak-jejak peristiwa sulit yang tertinggal dan dampaknya pada diri saya.

Guru saya mengatakan, jasad kita adalah cermin bagi jiwa kita. Mengenali, merenungi, dan mentafakuri perjalanan serta rekam jejaknya membantu kita memahami apa yang tertinggal dan dampaknya ke dalam. Merenunginya membantu kita beristighfar dengan lebih dalam—istighfar yang menyambung ke jiwa kita.

Merenungi hidup kita dan terus menerus membangun koneksi dengan-Nya semoga menjadi jalan membangun jiwa kita. Langkah awal menuju kesejatian diri dan memahami kehidupan ini—mulai dari napas sehari-hari, langkah kaki, detak jantung, emosi yang terpendam, pikiran yang melintas. Mengenali dan mengelolanya semoga menjadi langkah awal yang membantu menguatkan ibadah kita, sehingga terhubung ke jiwa. Diri sejati kita.

Similar Posts

  • | |

    RAMADHAN SAYA

    Saya dibesarkan di sebuah perkampungan padat penduduk dengan aktivitas keagamaan yang cukup intens. Saat kecil, Ramadhan adalah bulan yang paling saya nantikan. Puncak kegiatan keagamaan di lingkungan ini berlangsung sepanjang Ramadhan hingga beberapa hari setelah Idul Fitri. Lingkungan tempat saya tinggal dipenuhi beragam kegiatan, yang diikuti baik oleh orang tua maupun anak-anak. Suasananya mirip ‘Pesta…

  • KOLESTEROL

    Beberapa waktu lalu saya melakukan MCU secara mandiri. Dari hasil pemeriksaan diketahui kolesterol saya cukup tinggi dan harus mulai menjaga pola makan. Awalnya saya tidak begitu menyadari konsekuensi dari pemeriksaan tersebut. Salah satu makanan yang saya rasa paling signifikan meningkatkan kadar kolesterol saya adalah daging merah. Saya pikir tidak akan terlalu bermasalah jika saya diet…

  • | | |

    FATAMORGANA

    Dan kamu tahu, Ratusan purnama berlalu, Ribuan cahaya datang dan pergi. Apakah dia meninggalkan jejak yang sama? Atau setidaknya menghapus luka? Kesedihan, gembira, duka, lara. Semua tipu daya. Sakit, senang, luka, dan nyaris binasa. Semua itu fatamorgana. Dia hanya semu belaka. Jadi harusnya kukembalikan lagi saja padaMu, Untuk dibuang habis.

  • MINDFULNESS

    Pernah berada dalam situasi raga sedang di suatu tempat, tapi pikiran sedang di tempat lain? Saya pernah, sering malah. Saya menyadari ini ketika di suatu pagi yang cerah, di tengah olahraga jalan kaki ringan yang saya lakukan, saya tersadar saya tidak menikmati keadaan. Sepanjang jalan saya sibuk berpikir, harus kemana setelah ini, mau masak apa,…

  • | |

    MERANTAU

    ‘Bun, aku ingin ke Jepang’. Pertama kalinya si Abang mengutarakan keinginannya sekitar dua tahun lalu. Ibunya ini hanya mengiyakan dan berpesan agar dia mempersiapkan diri dan banyak berdoa jika memang ingin ke sana. Satu hal yang saya tekankan kala itu, kemungkinan dia tidak bisa sekolah di sana tanpa beasiswa, mengingat besarnya biaya hidup dan kuliah…

  • | | |

    KEMATIAN

    Beberapa pekan ini saya menerima kabar beruntun kematian teman, saudara, maupun pasangan dari teman yang saya kenal cukup baik. Sebagian kematian ini diawali dengan sakit, sebagian lagi terjadi dengan tiba-tiba. Kabar kematian ini datang beruntun seolah tidak memberi saya waktu untuk mencerna cukup jauh setiap beritanya. Sembilan kabar kematian, dalam kurun waktu kurang lebih 3…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *