Membesarkan Anak, Menemukan Kesejatian Diri

Saat ke Jepang kemarin, ada satu pengalaman menarik dan membahagiakan hati yang saya dapatkan terkait kehidupan anak saya di sana. Saat di sana, saya diperkenalkan anak saya pada dua atasannya yang merupakan warga negara Jepang — satu perempuan dan satu laki-laki.
Saat kami datang, Radja sedang tidak bekerja. Awalnya hanya ada atasan perempuannya saja, yang kurang mampu berbahasa Inggris. Saya berbasa-basi singkat dengannya melalui Radja sebagai penerjemah. Ia mengatakan senang Radja bekerja di sana dan keberadaannya sangat membantu mereka.
Atasan yang kedua seorang laki-laki paruh baya. Ia berbahasa Inggris lebih baik daripada atasan perempuannya. Kami berbincang tentang bagaimana Radja di tempat kerja. Ia memuji inisiatif Radja yang bagus. Kemampuan bahasa Inggris dan Jepangnya sangat membantu café mereka, terutama untuk melayani turis-turis asing yang datang. Warga Jepang umumnya minim kemampuan bahasa Inggris, sehingga kemampuan Radja ini menjadi nilai tambah. Ia bahkan membantu menerjemahkan buku menu ke dalam bahasa Inggris.
Bagi saya pribadi, pujian ini sangat membanggakan. Saya tahu tidak mudah beradaptasi dengan budaya asing, sambil belajar dan bekerja secara optimal. Saya menghargai kerja kerasnya di sana.
Kenapa saya menuliskan hal ini?
Beberapa waktu lalu, saya membaca salah satu thread yang menyebutkan bahwa jika anak tidak masuk universitas peringkat 100 dunia di luar negeri, lebih baik kuliah di kampus top 3 Indonesia — yang katanya kualitasnya di atas kampus luar negeri yang tidak masuk peringkat tersebut. Saya agak mengernyit membacanya.
Saya mungkin berbeda pendapat dengan pembuat thread tersebut. Saya sendiri merupakan lulusan salah satu kampus top 3 Indonesia yang disebutkan dalam utas itu.
Lalu kenapa saya menyekolahkan anak ke luar negeri?
Pertanyaan ini selalu menjadi bahan renungan saya. Apa alasan sebenarnya saya membiarkan dia merantau jauh, ke negeri asing yang untuk menjaga sholat, mencari makanan halal, dan beradaptasi tentu tidak mudah?
Bagi sebagian orang, mungkin ini dianggap berisiko: iman bisa terganggu, pergaulan tidak terjaga. Apakah saya melakukannya karena gengsi? Atau karena saya tidak percaya pada kualitas pendidikan di Indonesia? Atau karena ingin anak saya terdengar keren sebagai “warga negara global”?
Bertahun-tahun lalu, saya adalah ibu yang bersedia berkorban habis-habisan demi pendidikan dan kehidupan yang layak bagi anak-anak saya. Kata layak di sini jelas sesuai dengan pemahaman saya waktu itu: pendidikan harus bagus, meskipun mahal. Sekolah swasta, berbahasa Inggris, kurikulum yang melatih inisiatif, percaya diri, berpikir kritis, dan lain sebagainya. Sebisa mungkin bukan sekolah negeri.
Secara singkat, saya punya waham tersendiri tentang pendidikan yang bagus dan kehidupan yang layak. Menjadi warga negara global adalah ambisi yang tersirat di dalamnya.
Saya mewujudkan hal itu dengan memasukkan anak ke sekolah berbahasa Inggris, mendorongnya bergaul dengan berbagai orang dari beragam latar belakang agar menjadi pribadi yang terbuka dan inklusif.
Apakah saya juga memperhatikan agamanya? Tentu iya.
Usia lima tahun, Radja sudah menyelesaikan iqra’-nya. Saya sendiri yang mengajarkannya. Guru mengaji saya datangkan untuk membimbing hafalan Qur’an dan lain sebagainya. Di samping itu, ia juga mengikuti beragam les untuk mengembangkan kemampuannya: musik, bela diri, robotik, dan lainnya.
Anak saya harus berkembang dalam segala aspek. Stimulasi harus penuh — fisik, kognitif, sosial, emosional, dan spiritual. Saya, dengan segala pengetahuan saya, berusaha semaksimal mungkin membesarkannya dengan cara yang saya rasa paling tepat untuknya.
Saya rasa paling tepat — di situ letak masalahnya.
Saya membesarkannya dengan sudut pandang saya.
Apakah saya berdoa untuknya? Oh, tentu saja. Saya berharap ia menjadi manusia shalih dengan masa depan gemilang, sebagaimana banyak gambaran kesuksesan di luar sana. Tapi ada satu hal mendasar: saya tidak pernah bertanya kepada Tuhannya, siapa jiwa anak saya sebenarnya. Kesalahan fatal yang kemudian dengan tertatih-tatih berusaha saya perbaiki.
“Siapa anak saya sebenarnya?”
Pertanyaan itu muncul setelah saya memahami lebih jauh tentang makna kehadiran kita di dunia ini. Pertanyaan mendasar yang seharusnya menjadi pendorong dalam bertindak, yang semakin besar setelah pengajaran bertahun-tahun dari Mursyid saya.
Peristiwa sulit dalam hidup — termasuk jatuh bangun dalam membesarkan anak — menjadi pemicunya. Siapa saya, untuk apa saya diciptakan? Siapa anak saya, dan apa yang harus saya lakukan dalam membesarkannya? Apa yang Dia inginkan dalam pengasuhan ini?
Ketika Radja meminta sekolah di Jepang, hal pertama yang saya lakukan adalah berdoa. Saya bertanya sepenuh hati kepada-Nya: apakah ini yang Dia inginkan? Apakah benar negara asing ini adalah tempat yang terbaik baginya?
Saat proses seleksi berlangsung, saya berdoa siang malam, meminta Dia menuntun ke jalan yang lurus. Jika memang takdir terbaiknya adalah di sana, saya mohon dibukakan dan diberi perlindungan. Jika bukan, saya mohon anak saya dijaga hatinya dari rasa kecewa yang berlebihan.
Doa-doa ini dipanjatkan di langit, mungkin bersamaan dengan doa Radja yang berharap bisa lulus dan menjalani kehidupan di tempat impiannya.
Sepanjang menunggu pengumuman, saya deg-degan — bukan karena takut ia tidak lulus, tapi khawatir ia akan kecewa jika gagal. Saya sendiri insyaAllah percaya bahwa Dia Yang Maha Baik akan memberikan yang terbaik bagi kami.
Saat pengumuman tiba dan saya meminta restu dari Guru saya, saya ingat perkataannya:
“Insya Allah ini baik baginya, akan baik untuk jiwanya.”
Saya lega luar biasa, karena tahu kali ini saya melibatkan Dia dalam keputusan hidup anak saya. Rasanya tenang mengantarkannya pergi, bertarung di negeri orang. Hari-hari berikutnya, saya melihat bagaimana Dia Ta’ala bekerja. Semua urusannya dimudahkan. Ia dipertemukan dengan orang-orang baik yang menjaganya di sana — bos yang mengingatkannya shalat, bahkan ruangan khusus shalat di kampusnya.
Saya benar-benar belajar mentawakalkannya.
Kembali pada cerita tentang thread tadi — lalu apa kesimpulannya?
Saat ini, jika saya ditanya ke mana anak sebaiknya kuliah atau bersekolah, saya akan menjawab: tanyakan pada yang memiliki anak ini. Tuhan. Allah Ta’ala.
Kemana sebaiknya Dia kita tempatkan? Sekolah seperti apa yang paling pas untuk perkembangan tidak hanya aspek luarnya, tapi juga jiwanya?
Ada sesuatu yang lebih hakiki: jiwanya yang sudah ada sejak di alam alastu, yang harus kita jaga agar tidak terkubur oleh ambisi dan waham kita sebagai orang tua.
Apakah kuliah ke luar negeri adalah yang terbaik? Belum tentu.
Tugas kita — sebagaimana menanam sebuah bibit — adalah membantu anak melihat bibit apa dirinya sebenarnya, di tanah seperti apa ia sebaiknya tumbuh. Dengan takaran pupuk, sinar matahari, dan air yang sesuai. Kadang tempatnya bukan di tanah yang nyaman — seperti kaktus yang tumbuh di padang gersang, namun tetap berbunga indah.
Anak-anak kita adalah milik Ilahi.
Sebelum menentukan kemana mereka akan melangkah, mohonlah pada yang memilikinya untuk menunjuki jalan.
Semoga kita diberi kemampuan membesarkan anak agar menemukan kesejatian dirinya.
Amin ya Rabbal ‘alamin.
