STRES DAN CARA MEMANDANG HIDUP

Bagaimana kita seharusnya memandang hidup? Pertanyaan ini muncul saat saya dan seorang teman memandu sesi training tentang stres dan pengelolaannya.
Apa sih yang menyebabkan stres? Apa itu stres sebenarnya? Apakah stres selalu negatif? Pertanyaan-pertanyaan sekaligus curhatan tentang stres di kehidupan sehari-hari, baik di tempat kerja maupun pribadi, mengalir sepanjang sesi tersebut. Diskusi itu mendorong saya untuk menuliskan serial tentang stres dan pengelolaannya di blog ini.
Apa itu stres? Stres adalah keadaan tidak nyaman pada seseorang karena adanya perubahan dalam diri atau lingkungan yang menuntut penyesuaian. Dengan kata lain, stres erat kaitannya dengan perubahan dan cara kita beradaptasi dengannya. Dalam definisi lain, stres muncul saat kita mempersepsikan bahwa sumber daya yang dimiliki tidak cukup untuk mengakomodir tuntutan yang ada. Intinya: stres berkaitan dengan perubahan, tuntutan, sumber daya, serta kemampuan kita beradaptasi. Tak heran, orang yang kurang fleksibel biasanya lebih rentan terhadap stres.
Stres sendiri sebenarnya bukan hal yang selalu negatif. Beberapa peristiwa menyenangkan pun bisa menimbulkan stres: persiapan pernikahan dengan segala printilannya, liburan keluarga dengan itinerary yang padat, promosi jabatan dengan tanggung jawab baru, atau kelahiran anak yang ditunggu-tunggu. Jadi, apakah suatu peristiwa menjadi stres negatif atau positif, tergantung pada banyak hal, termasuk faktor kepribadian dan mindset kita.
Sering dikatakan bahwa persoalan hidup hanyalah soal cara kita memaknainya: positif atau negatif. Sekilas tampak benar—ketika kita memandang sesuatu secara positif, maka kita lebih mudah menjalaninya. Namun, saya pribadi berhati-hati dengan pandangan ini. Hidup tidaklah sesederhana “ubah cara pandang ke arah positif, lalu semuanya selesai.” Tanpa pemahaman mendalam, hal ini bisa menjebak pada toxic positivity: menyederhanakan dan meremehkan kesulitan yang benar-benar dialami seseorang.
Lalu, bagaimana seharusnya kita memandang peristiwa yang tidak menyenangkan? Bagi saya, ini kembali ke pertanyaan mendasar: bagaimana saya memandang kehidupan? Untuk apa saya diciptakan, dan bagaimana seharusnya saya menjalaninya? Perubahan cara memaknai hidup inilah yang sangat membantu saya menghadapi situasi penuh stres, bahkan mengurangi masalah maag kronis yang identik dengan stres.
Pertanyaan ini pertama kali hadir saat saya begitu sibuk mengejar dunia. Di tengah kesibukan itu, tiba-tiba muncul pertanyaan: “Sebenarnya apa yang saya cari? Untuk apa semua ini?” Pertanyaan yang menyadarkan ada kekosongan di dalam diri, dan mendorong saya mencari sesuatu yang lebih hakiki.
Pencarian itu mengantarkan saya pada pemahaman tentang misi hidup. Bukan sekadar bakat atau potensi yang harus dikembangkan, melainkan pengetahuan lebih mendasar: tidak ada yang acak di dunia ini. Semua takdir, peristiwa, ujian, bahkan pertemuan dengan orang lain, telah disusun oleh Dia Yang Maha Pengasih untuk menuntun kita. Guru saya selalu mengingatkan: jangan mengeluh, karena dengan mengeluh pintu pemahaman itu tidak akan terbuka.
Pemahaman ini banyak membantu saya. Dulu saya sering marah dan merasa hidup saya lebih berat dari orang lain, padahal saya tidak merasa berbuat jahat. Lama-lama, saya belajar menerima dan membaca pesan di balik setiap kesulitan. Penerimaan ini membuat saya lebih tenang menghadapi peristiwa sulit berikutnya. Ketika terasa berat, saya berdoa agar hati dilapangkan, agar saya bisa mengerti apa yang Dia kehendaki, dan dimudahkan untuk menerima. Perlahan, saya merasakan Dia menuntun ke jalan yang tidak terpikirkan sebelumnya—jalan yang lebih ringan dijalani, bahkan membawa rezeki batin.
Kembali ke stres: cara kita memaknai peristiwa erat hubungannya dengan cara kita memandang kehidupan. Doa dalam shalat “ihdinash shiratal mustaqim”—Tunjukkanlah kami jalan yang lurus—sesungguhnya menuntun kita melalui peristiwa hidup, baik yang terasa menyenangkan maupun menyulitkan. Jalan lurus itu bisa membersihkan sifat buruk dalam diri, meruntuhkan keyakinan keliru, dan menyingkap cara pandang baru. Hidup pun terasa lebih ringan dijalani, dan stres lebih mudah dikelola.
Jadi, menurut saya, hal paling mendasar dalam mengelola stres adalah memperbaiki cara pandang terhadap kehidupan. Itu bermula dari memperbaiki hubungan kita dengan-Nya, dan kembali kepada-Nya dengan sebenar-benarnya.
Semoga kita dimudahkan untuk kembali, dalam peristiwa apa pun yang terjadi.