Ruang Khalwat
Guru saya berpesan, setiap mukmin hendaknya punya ruang tersendiri untuk bermunajat pada Allah. Tidak harus sebuah ruang besar, cukup sudut khusus untuk menghamparkan sajadah. Ruang munajat untuk ber-khalwat (menyendiri) dengan-Nya.
Ruang ini saya wujudkan dalam bentuk pojok sholat atau tafakur di kamar kami. Sudut yang nyaman karena semua fasilitas yang dimudahkan Allah: pendingin ruangan, lantai parkit, dan plafon tinggi. Sudut yang membuat betah berlama-lama beribadah di sana.
Di pojok ini saya secara teratur berdoa dan berbincang dengan-Nya. Terutama di malam hari, saat semuanya terlelap. Suasana sepi, hening, dingin, membuat saya betah duduk berlama-lama.
Saya pikir rasa betah itu murni karena kedekatan yang dibangun. Namun, keyakinan ini dijungkirbalikkan saat saya mudik ke kampung halaman tahun lalu. Rumah lama kami tidak senyaman rumah yang saya tempat, begitu juga sudut sholatnya: tanpa pendingin ruangan, tanpa alas parkit, dan kadang orang lalu lalang. Saya jadi sering berkeringat, merasa gerah, dan mudah terganggu. Waktu khalwat pun terasa lebih singkat.
Saya lalu tersadar, kenyamanan beribadah selama ini bukan semata-mata karena hati condong kepada-Nya. Kekhusyu’an saya (jika bisa disebut khusyu’) hadir karena faktor eksternal yang mendukung. Ketika situasi tak mendukung, saya pun cenderung menghindar.
Kenyataan ini agak menampar hati. Di satu sisi saya bersyukur Allah memperlihatkan hal ini. Namun saya juga malu karena iman saya ternyata masih bergantung pada kenyamanan. Mungkin, selama ini yang saya cari belum sepenuhnya Dia, melainkan kenyamanan diri. Tak heran jika keluhan masih hadir ketika kesulitan datang menghampiri.
Padahal, seorang pencari sejati selalu siap tinggal bersama-Nya dalam setiap keadaan.