MENJADI MUSLIM: ANTARA PRASANGKA, RITUAL DAN CAHAYA

“Ibuku langsung menelepon dan bertanya dengan cukup keras, apakah aku benar-benar akan ke negara muslim? Negara dengan pelaku teroris di dalamnya?” Teman Radja, yang sedang berlibur ke Indonesia, menceritakan reaksi ibunya sambil tertawa saat ia mengabarkan akan datang ke Indonesia.
“Apakah kamu benar-benar akan ke Indonesia? Di sana mungkin suasananya kotor, tidak seperti di sini. Orang-orangnya pun bisa berbeda,” tambahnya, mengutip pertanyaan dari seorang dosen muda di kampusnya, yang kebetulan memiliki suami dari negara tetangga Indonesia.
Saya hanya tertawa mendengar ceritanya. Saat itu kami sedang duduk di salah satu kafe dalam perpustakaan Universitas Indonesia. Di hadapan kami terbentang danau UI yang airnya sedang penuh, dikelilingi tanaman hijau. Kami menikmati sepotong kue triple chocolate dan kopi favorit usai jalan pagi keliling kampus. Suasana tenang dan damai ini terasa sangat kontras dengan kekhawatiran dua orang penting dalam hidup gadis muda itu.
“Ini pertama kalinya saya memiliki teman seorang muslim. Dan saat pertama tahu bahwa muslim harus sholat lima waktu, saya terkejut,” katanya sambil tertawa kecil. “Wow, itu reaksi saya waktu itu.”
Dia berasal dari Argentina. Meski mayoritas penduduknya beragama Kristen, banyak yang tidak menjalani praktik keagamaan secara rutin. “Kami percaya pada Tuhan, tapi tidak menjalani ritual agama,” katanya. Perpindahan ke Jepang dan pertemuan dengan beragam manusia dari latar belakang berbeda membuka perspektif barunya—terlebih saat ia datang ke Indonesia dan berinteraksi dengan keluarga kami.
Gadis ini datang ke Indonesia untuk menghadiri konser sebuah band yang menurutnya tidak terlalu terkenal, namun memiliki penggemar fanatik di beberapa negara. Ia adalah senior Radja di kampus, akan segera lulus, dan dikenal sebagai pribadi yang ambisius, aktif, serta berprestasi. Ia mendapatkan beasiswa yang cukup sulit dari pemerintah Jepang berkat kontribusinya di kampus, dan berencana melanjutkan kuliah di bidang gender dan feminisme—topik yang dulu juga sempat menarik hati saya, bahkan menjadi tema skripsi saya.
Saya yang seorang muslim, berhijab, bekerja, dan cukup aktif di luar rumah, mungkin menjadi sosok yang menarik di matanya. Kami pun berbincang banyak hal, termasuk soal agama dan peran spiritualitas dalam kehidupan.
“Buat saya, agama adalah hal yang personal,” ujar saya padanya. “Hubungan saya dengan Tuhan adalah hubungan yang sangat pribadi, dan justru menjadi pengaruh terbesar dalam hidup saya.”
Saya melanjutkan, “Segala ritual dalam agama bagi saya bukan sekadar kewajiban, tapi penjagaan. Hubungan ini adalah yang saya andalkan. Saat anak-anak tumbuh dewasa dan mulai punya jalan pikir sendiri, saya sadar saya tidak bisa menjaga mereka setiap saat. Tapi saya tahu, Tuhan bisa.”
Ucapan itu saya sampaikan setelah ia bercerita soal aplikasi pelacak yang digunakan keluarganya untuk mengetahui lokasi masing-masing anggota. Meski kadang terasa mengganggu, ia paham itu bentuk perhatian dan tanggung jawab orang tua—yang saya apresiasi, di tengah stigma kebebasan total yang sering dilekatkan pada keluarga di negara-negara Barat.
Saya lalu menceritakan perjalanan saya sendiri. Bagaimana saya kembali kepada Tuhan setelah banyak hal dalam hidup, dan menemukan ketenangan di dalam-Nya. Bagi saya, ritual agama adalah kebutuhan di tengah dunia yang tidak pasti. Seperti pitstop dalam balapan, ia mengingatkan saya bahwa hidup ini bisa berakhir kapan saja—dan tidak ada yang bisa saya andalkan selain Dia.
Percakapan itu membekas. Ia menggugah kembali kenangan saya tentang berbagai prasangka terhadap umat Islam. Saat pertama kali saya merasakannya secara langsung adalah ketika mengurus pembukaan rekening untuk pencairan beasiswa Radja. Nama “Muhammad” di awal namanya membuat prosesnya tersendat dibanding teman-temannya dari negara lain yang tidak memiliki nama itu.
“Kami perlu mengecek rekam jejak Anda terlebih dahulu,” kata petugas bank di Jepang. Prosesnya berlarut-larut, sampai pihak sekolah Radja pun ikut turun tangan untuk mempermudah dan memberikan jaminan. Cerita dari teman Radja ini hanya mempertegas apa yang selama ini sudah saya simpan dalam pikiran—bahwa label Muslim masih dianggap identik dengan kekerasan, keterbelakangan, dan kemiskinan.
Namun, saya juga menyadari bahwa sebagian dari kita ikut berkontribusi terhadap munculnya citra negatif ini. Buat saya, ini adalah otokritik. Lihat saja bagaimana di media sosial, orang dengan mudah menghakimi kehidupan orang lain, merasa punya kuasa menentukan siapa penghuni surga dan neraka, hanya karena beda pandangan.
Saya pun pernah berada dalam fase itu—beragama dengan hawa nafsu. Bahkan kini pun mungkin masih, ketika muncul perasaan “lebih baik” hanya karena saya rutin ibadah sunnah. Saya sering istighfar untuk itu. Ikhlas itu sulit.
Hawa nafsu adalah hal penting yang harus dikenali dan dikendalikan. Syaitan masuk dari celah-celah hawa nafsu yang tak terkelola. Karena itu, mengenali kekurangan diri dan hal-hal yang menutup cahaya kebenaran dalam diri kita adalah bagian dari doa yang harus senantiasa kita panjatkan.
Saya beruntung dipertemukan dengan seorang Guru yang mengajarkan hakikat manusia dan strukturnya. Bahwa kita ini makhluk langit yang turun ke bumi. Di dalam diri kita ada tiga alam: alam jasad (fisik), alam malakut (jiwa), dan alam jabarut (ruh). Jiwa kita suci, ia hanya butuh dekat dengan Tuhannya, Sumber Kehidupan. Di dalam jiwa itu ada citra Tuhan—cahaya yang membuat manusia lebih istimewa dari malaikat.
Cahaya dalam jiwa ini harus dijaga. Jika tidak, ia akan pudar oleh hiruk-pikuk dunia, dan kita akan berjalan tanpa penerangan. Karena itu, semua ritual hadir: bukan untuk membuat kita merasa lebih baik dari orang lain, apalagi untuk menghakimi. Tapi agar kita tetap dekat dengan-Nya, tetap dalam cahaya.
Pengetahuan ini menolong saya untuk fokus ke dalam. Untuk menemukan siapa saya yang sejati, dan tidak lagi melirik ke kiri dan ke kanan. Saya belajar menerima cerita hidup yang Allah berikan, agar memahami tujuan penciptaan saya.
Dalam konteks ini, ibadah bukan lagi semata rutinitas. Tapi setiap Bismillah saat mengambil keputusan, setiap doa dalam kegelisahan, setiap tafakur dan istighfar dalam kesulitan—semua adalah ibadah. Cita-cita saya pun bergeser: bukan lagi menjadi kaya agar bisa berzakat miliaran, tapi menjadi seperti yang Dia inginkan. Meskipun sulit, mudah-mudahan Dia mampukan.
Saya berharap anak-anak saya juga kelak memahami hal ini. Bahwa ritual yang tampak lelah dan pelik, sejatinya adalah kebutuhan jiwa. Dan bahwa kita tak pantas menghakimi orang lain hanya karena mereka belum menjalani hal yang sama.
Semoga cahaya Islam yang sejati—yang lembut, teduh, dan penuh cinta—kembali menyinari dunia.
Semoga, suatu hari nanti, menjadi seorang Muslim bukan lagi hal yang menakutkan.
Amin ya Rabbal ‘Alamin.