JAMA’AH
Domba yang sendirian akan lebih mudah diterkam serigala. Perumpamaan ini sering saya dengar dahulu, untuk menggambarkan pentingnya berada dalam sebuah jama’ah dalam beragama. Dahulu, saya yang cenderung didorong oleh motivasi internal dalam melakukan banyak hal, sering merasa kurang setuju dengan pernyataan ini. Buat saya waktu itu, kalau mau beribadah (dalam arti ritual syariat, berbuat baik) ya gak harus juga beramai-ramai dan nunggu orang lain. Sholat ya sholat aja, ngaji ya ngaji aja, sedekah ya sedekah saja. Urusan kita sama Tuhan saja. Fungsi jama’ah dalam hal ini yang gak perlu-perlu amat kalau motivasi internal kita kuat.
Hingga suatu masa kemudian saya menyadari bahwa agama bukan hanya sekedar menegakkan syariat atau berbuat baik. Bukan hanya itu. Dia ternyata melingkupi seluruh hidup saya, luar dalam, lahir batin, menyeluruh. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, bahkan dalam tidur sekalipun. Dia adalah kehidupan itu sendiri. Gak cuma sekarang, saat bernafas di bumi, tapi juga setelah kematian nanti. Bukan cuma perilaku, tapi juga pikiran saya dan isi hati.
Dari sana saya mulai menyadari bahwa Ber-Diin secara kaffah itu ternyata gak semudah yang saya kira. Bangun pagi, apa yang terpikir dalam hati, apa yang menggerakkan saya pertama kali? Melangkah keluar rumah, kemana saya menuju, mau apa saya ke sana, untuk siapa/apa tujuannya? Ada di tengah keramaian, apa yang ada di pikiran saya? Saat sendirian, apa yang terlintas dalam hati saya? Menjaganya agar tetap lurus niatnya, lapang rasanya, terbimbing sinar-Nya terus menerus, ternyata tidak mudah.
Bangun pagi saja kita sudah disabotase sosial media dengan segala beritanya, pikiran kemudian tersangkut di sana, ikut tenggelam dalam hiruk pikuk hal hits terkini. Keluar rumah di perempatan bertemu orang yang menyelip kendaraan kita dengan seenaknya, rasanya sudah ingin memaki saja. Keriwehan pagi hari di rumah tangga, sementara deadline menunggu dengan semena-mena, rasanya ingin membuat kita berteriak dengan nada lebih tinggi satu oktaf kepada keluarga. Singkat cerita, mempertahankan kondisi batin tetap eling itu gak mudah ya ternyata. Benar-benar ditunggu oleh serigala di setiap tikungannya.
Lalu apa hubungannya dengan jama’ah? Buat saya saat ini berada di dalam jama’ah membantu untuk menguatkan aspek batin secara terus menerus. Jama’ah ibarat cermin yang terpampang banyak sekali di hadapan saya. Saat berbicara dengan seorang sahabat seperjalanan, saya melihat bagaimana saya, sudah sejauh apa saya berjalan. Saat melihat bagaimana mereka berperilaku, bagaimana mereka menanggapi sebuah persoalan, saya bercermin tentang bagaimana saya menghadapi sebuah masalah. Dalam jama’ah saya belajar untuk mengkoreksi laku saya dalam hidup sehari-hari. Bahkan mengkoreksi apa yang ada di dalam hati, saat mendengar cerita hidup salah seorang salik.
Dalam jama’ah saya juga memahami cerita hidup yang bermacam-macam dan sangat spesifik untuk tiap orang. Dua orang teman saya sakit yang sama, namun kondisinya, sumber dayanya, bisa berbeda-beda. Cara mereka menghadapinya menjadi pelajaran buat saya. Ada yang dimudahkan penyakitnya karena sering memudahkan orang lain. Ada yang juara sabarnya, tidak mengeluh dalam ujian. Saat berkumpul bersama, saya memetik banyak sekali hikmah, air makna kehidupan. Lewat jama’ah Allah menitipkan lisan-lisan dan tangan-tangan untuk menjaga saya, agar tetap benar dalam bertindak dan melangkah dalam kehidupan.
Saat ini saya malah tidak bisa membayangkan hidup tanpa jama’ah. Rasanya akan sangat berat menjadi domba yang sendirian, di tengah hutan belantara kehidupan. Terseret-seret hawa nafsu, keinginan dan rayuan rimba belantara dunia ini, tanpa ada yang mengingatkan. Tampak luar mungkin baik-baik saja, beribadah rajin, bekerja dan tidak neko-neko dalam hidup. Namun di dalam batin bisa jadi kering kerontang atau malah meranggas karena hobi mengeluh, senang dunia, terseret ambisi, dan jutaan jebakan lain, tanpa ada yang menjadi cermin dan mengingatkan.
Depok, awal Juli 2024