MARAH
Pernah merasakan marah yang besar pada sesuatu atau orang lain? Sebagian besar orang pasti pernah merasakannya ya. Perasaan marah, jengkel, kesal dan nama turunan lainnya, yang mendorong kita untuk bertindak keras, kasar, di luar kebiasaan sehari-hari karena kuatnya dorongan energi dari perasaan ini.
Ya, perasaan yang kuat itu mengandung energi yang besar. Dia, jika tidak bisa dikelola dengan baik, akan sangat berpotensi merusak, baik diri sendiri maupun orang lain. Karena merupakan energi, sebagian besar ahli menyarankan untuk mengelola dan menyalurkannya dengan cara yang tepat. Di salah satu buku disebutkan, memfokuskan energi kita ini pada tujuan tertentu akan membantu kita mengelola marah atau emosi kuat lainnya yang sedang kita rasakan, dengan baik.
Hal ini bisa jadi benar. Saya sendiri bertahun-tahun lalu pernah hidup dalam kemarahan pada seseorang/sesuatu. Rasa marah, sakit hati, kecewa ini kemudian saya alihkan pada banyak hal. Saya ingat tahun-tahun itu saya terlihat begitu produktif dan berenergi. Menjalankan bisnis, aktif di komunitas, bahkan melanjutkan pendidikan kembali, menjadi cara saya untuk menyalurkan kemarahan dan rasa sakit hati.
Saya bekerja dengan sangat bersemangat. Selain karena terasa menemukan passion, namun juga ada dorongan dari dalam yang membuat saya memasang satu target tertentu dalam hidup sebagai bentuk pelampiasan. Berkegiatan hingga malam, bertemu banyak orang, menyalurkan ide-ide di komunitas, menjadi mudah saja untuk orang dengan energi besar di dalam yang sedang menyala-nyala. Tampak luarnya sepertinya sesuatu yang sangat baik dan bermanfaat, namun ternyata ada yang hilang yang saya sadari belakangan.
Ketenangan. Hal ini yang saya rasakan tidak ada atau kurang sekali di masa-masa itu. Energi yang besar di dalam karena dorongan emosi yang kuat, membuat saya cenderung gelisah. Membuat saya tidak bisa berpikir dengan jernih dan kehilangan koneksi dengan diri sendiri. Saya jadi kurang terhubung dengan apa yang ada di dalam, dengan siapa saya sebenarnya dan apa yang saya mau. Hilangnya ketenangan dan keterhubungan ini buat saya menjadi kerugian terbesar di masa-masa itu.
Kesadaran tentang ini muncul ketika perlahan saya mulai menerima keadaan. Tidak lagi mencoba menyalahkan, saya melihat ke dalam dan bertanya, apa yang sebenarnya terjadi. Sejalan dengan membaiknya penerimaan ini saya kemudian belajar mengampunkan. Belajar memaafkan. Kedua hal ini kemudian melahirkan ketenangan, memadamkan api kemarahan di dalam dada, juga meredakan emosi kuat lainnya. Perlahan-lahan saya bisa berpikir dengan jernih dan atas izin-Nya, melihat hikmah dan kehendak-Nya atas peristiwa yang terjadi. Sesuatu yang sangat saya syukuri kemudian karena bisa terbebas dari lingkaran setan kemarahan dan kekecewaan.