AKAR DAN KITAB DIRI
Mengenali kembali ke-Minang-an saya dan mengakuinya, adalah salah satu bentuk pengenalan dan pembacaan kitab diri yang saya lakukan belakangan ini.
Saat usia lebih muda, saya sempat tidak ingin terlahir sebagai orang Minang. Dengan segala stereotype negatifnya, ditambah lagi saya lahir dan besar di kota lain, saya cenderung merasa jauh dari ranah Minang ini, dibandingkan kota dimana saya dibesarkan.
Sampai kemudian saya paham, dimana kita lahir, dengan orang tua yang seperti apa, lingkungan tempat kita berada, adalah hal yang Allah setting untuk kita. Dengan sengaja. Ada maksud Allah menempatkan kita dalam setting itu semua, untuk mendukung tujuan penciptaan kita.
Sejauh ini yang bisa saya pahami, banyak pembatasan yang dilakukanNya, terkait latar belakang keluarga (nilai-nilai, beliefs,dll), ekonomi, sosial budaya, yang tujuannya menjaga saya.
Dengan siapa saya berinteraksi, lingkungan tempat saya dibesarkan, pada akhirnya mirip dengan komunitas dimana saya sering berkiprah. Saya dengan cepat lebih mudah memahami situasi mereka dengan kesulitannya, karena menjadi bagian darinya.
Di titik ini bahkan tidak terbayangkan jika saya lahir dari orang tua dengan latar belakang berbeda.
Begitulah, hal-hal yang sering kita keluhkan, ketika kita renungkan, ternyata terkait satu sama lain. Bahkan mungkin segala hal-hal ‘toksik’, kalau kata anak sekarang, ternyata memberikan nuansa dan pemahaman tentang banyak hal yang mungkin akan jadi tugas kita ke depan.
Hal ini yang kemudian membuat saya cenderung tidak setuju, ketika orang memuja paham ‘childfree’ karena takut ini dan itu. Ketika Allah ada, ‘ini dan itu’ insyaAllah hanya sebentuk penjagaanNya, pengaturanNya, agar kita berjalan di koridor kita. ‘Ini dan itu’ itu yang mungkin mengantarkan kita pada sesuatu, jika kita mau menerimanya.
Setiap kita lahir dengan sebuah ‘misi’ dariNya. Semoga Allah selalu tuntun diri kita untuk memahami hakikat penciptaan diri kita, mulai dari akarnya.
Amin ya Allah…