| |

YA ALLAH, SAYA TERIMA

Sore kemarin saya berbincang cukup lama tentang hidup dengan seorang teman. Beliau adalah salah satu orang tua dari anak berkebutuhan khusus, yang sekarang usianya sudah remaja. Obrolan kami seputar ujian hidup dan bagaimana kami memaknainya. Ada hal menarik yang saya dapatkan dari ceritanya dan tertanam di ingatan saya hingga saat ini.

Teman saya ini bercerita, pada awal kelahiran anaknya hingga usia yang cukup besar, dia sulit menerima kondisi si anak secara penuh. Tipikal achiever dengan segudang prestasi, teman saya percaya bahwa anak ini pasti akan bisa mencapai apa yang dia targetkan. Dia percaya penuh kondisi si anak bisa diubah, harusnya tidak begini, harusnya bisa begini dan begitu, jika diusahakan sekuat tenaga.

Dengan mindset ‘in control’ secara penuh ini, mulailah dia melakukan sejumlah intervensi pada si anak. Sebenarnya sederhana saja hal yang dia inginkan, yaitu si anak bisa mandiri, bisa BAB dan BAK di toilet, dan membersihkan diri setelahnya. Dia melakukan semua yang dianjurkan. Mengajarkan tahap demi tahap, dengan bantuan penuh, pengulangan, visual support dan lain sebagainya, sesuai dengan informasi yang dia dapatkan dan pelajari dari berbagai sumber.

Hari hari berlalu, usaha demi usaha dilakukan. Semakin lama semakin dipenuhi rasa frustrasi karena perkembangan si anak tetap tak seperti yang diharapkan. Puncaknya ketika suatu hari, si anak BAB di celana dan berceceran di lantai dalam perjalanannya ke kamar mandi. Benar-benar chaos dan membuat sekelilingnya berantakan.

Dalam tangisan dan rasa frustrasi yang memuncak, teman saya merasa berada di titik terlemahnya. Tiba-tiba sebuah kesadaran muncul. Kesadaran tentang kondisi dan keterbatasan si anak. Kesadaran bahwa selama ini dia hanya ingin segala sesuatu berjalan sesuai dengan maunya, sesuai dengan kehendaknya, tanpa melihat sang anak dan juga Sang Pemberi Ujian.

Di titik ini dia menyadari bahwa dia belum menerima kondisi sang anak secara penuh. Dia sibuk berkutat dengan kemarahan dan penolakan terhadap takdir dan berusaha mengubahnya sekuat tenaga. Hal inilah yang menjadi sumber masalah hidupnya dan segala kekesalannya selama ini.

Kesadaran ini menampar teman saya sekaligus memberinya pencerahan. Dalam kesadaran yang baru dia kemudian berucap, ‘Tuhan, saya terima. Saya terima kondisi anak saya dengan sepenuh hati. Tolong bantu saya.’

Keesokan harinya sebuah keajaiban hadir. Si anak secara tiba-tiba berjalan sendiri dan BAB di toilet tanpa drama seperti sebelumnya. Teman saya bersaksi, bagaimana kejadian ini mengubah cara pandangnya tentang takdir, penerimaan, juga keberserahdirian. Bagaimana sebuah penerimaan bisa mengubah keadaan, dari yang tidak mungkin menjadi mungkin, dan semuanya bisa terjadi secara tiba-tiba saja.

Saya tercenung mendengarnya. Hari ini Allah ijinkan seseorang bertutur pada saya tentang penerimaan, tentu bukan tidak ada maksudnya. Saya sendiri sedang belajar menerima banyak hal dalam hidup secara penuh. Beberapa hal seperti menemukan jalan buntu, karena saya merasa harusnya tidak begini, harusnya begitu. Saya berusaha mengubahnya, alih-alih menerima kondisi dan memaafkannya. Cerita teman saya ini, sekali lagi, mengingatkan saya untuk menerima dulu semua takdir yang Dia hadirkan, sembari melakukan perbaikan dengan pertolonganNya.

Similar Posts

  • | |

    TENTANG SORE, TAKDIR, DAN IMAN

    Pernahkah kamu ingin mengulang waktu dan kembali ke masa lalu untuk mengubah hal buruk yang terjadi dalam hidupmu? Pernahkah kamu menyesali keputusan yang pernah kamu ambil di masa lalu dan berandai-andai mengambil pilihan yang berbeda? Saya pernah melihat video yang mewawancarai beberapa orang secara acak dan bertanya: jika bisa kembali ke masa lalu, apa yang…

  • | | | |

    ADOPSI

    Salah satu sahabat saya mengadopsi anak beberapa bulan yang lalu. Anak kecil yang lucu, yang tidak diketahui siapa orang tuanya dan selama ini tinggal di salah satu panti di Jakarta. Saat dibawa pulang, anak ini terindikasi stunting dan kurang optimal perkembangannya. Namun beberapa bulan bersama, anak ini tumbuh ceria, sehat dan mengejar berbagai ketertinggalannya. Beberapa…

  • | | | |

    PEMBATASAN

    Dulu saya orang yang keras kemauan. Jika ingin sesuatu sebisa mungkin saya berusaha mendapatkannya. Buat saya kala itu, kita bisa kalau kita mau. Selagi halal, lakukan apapun itu. Saat itu saya jarang berpikir apakah Allah suka akan hal ini, apakah itu baik untuk aspek batin saya, atau tidak. Waktu berlalu, sejalan dengan usia, hal-hal yang…

  • | | |

    PILIHAN HIDUP

    Hidup itu adalah rangkaian konsekuensi dari pilihan yang kita ambil. Dulu saya sangat percaya dengan kalimat ini. Tapi sekarang, saya menyakini, bagi orang beriman pilihan hidupnya bukan dia yang menentukan. Ada Allah sebaik-baik pembuat pilihan. Berserah diri pada hakikatnya menyerahkan pilihan ini padaNya. Melalui doa, istikharah, munajat panjang, pengambilan keputusan tidak lagi berdasarkan akal semata….

  • | |

    MENIKAH DAN SETENGAH AGAMA

    “Pernikahan sejatinya adalah untuk mengasah aspek batin. Karena itu (dia) disebut ‘setengah agama’.” Kata-kata ini muncul kembali dari postingan saya beberapa tahun lalu di FB dan membuat saya teringat satu pertanyaan yang diajukan seorang teman dulu, ‘kenapa menikah disebut setengah agama?’ Banyak orang berpikir, – saya dulu juga begitu-, pernikahan semata-mata urusan cinta. Aku cinta…

  • | |

    TERTUNTUN

    Pernahkah memohon padaNya utk memilihkan apa yang terbaik untukmu? Seringkali hati sedemikian gelapnya, sehingga tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh. Bahkan mungkin seringkali lupa memohon petunjukNya dulu, dalam hal apapun. Seorang mukmin, org yang bertaqwa, hidupnya sangatlah tertuntun. Apa yg dilakukannya, selalu dalam koridor petunjuk Allah Ta’ala. Bahkan utk keputusan sekecil apapun, mau kemana…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *