| | |

SIAPA YANG MENERUSKAN PERJALANAN?

Tubuh manusia ini mirip mesin. Kata sebuah buku, ada masa-masa ausnya dan harus diganti. Pernah dengar ungkapan itu? Ya, tubuh kita ini seperti mesin canggih yang satu hari nanti akan berhenti, yang biasa kita sebut ‘mati’.

Hal ini semakin saya rasakan dalam satu tahun belakangan. Saya harus menjalani dua kali operasi dan satu kali cedera kaki yang membuat saya lebih banyak berdiam di rumah. Tubuh saya, dalam pandangan saya, sedang “direparasi”: satu operasi di hidung, satu lagi di pencernaan. Sebagian karena usia pakai, sebagian karena kelalaian, ketidakmaksimalan dalam menjaga apa yang Allah titipkan.

Perkara tubuh ini kemudian mengantarkan saya pada pertanyaan lain: jika tubuh ini – mesin ini -berhenti, siapa yang akan melanjutkan perjalanan? Pertanyaan yang satu tahun terakhir terasa lebih sering datang, diperkuat oleh kabar berpulang yang kian kerap saya baca di layar ponsel, di grup-grup WhatsApp.

Ilmu psikologi mengajarkan bahwa manusia itu kompleks, tidak hanya sebatas fisik. Ada aspek psikologis: pikiran, motivasi, emosi, dan hal-hal lain yang tak kasat mata, namun dapat terlihat dalam perilaku. Saking kompleksnya, meskipun psikologi mencoba menguraikannya, tetap saja pepatah berlaku: “Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu.” Manusia bisa saja mengatur perilakunya agar tampak sesuai dan diterima secara sosial, namun isi hati dan pikirannya bisa sangat berbeda.

Freud bahkan berbicara tentang ketidaksadaran (unconsciousness): bagian dari diri kita yang tertekan jauh di bawah sadar, yang sering kali baru muncul dalam bentuk gejala atau gangguan psikologis. Jung melangkah lebih jauh, menjelaskan tentang ketidaksadaran kolektif (collective unconscious) yang dialami banyak orang, berisi arketipe -citra Tuhan- yang menghubungkan kita dengan yang azali. Jejaknya tampak dalam mitologi, kepercayaan, dan dongeng-dongeng. Luar biasa, bukan?

Namun pertanyaannya, dengan segala kompleksitas ini, sejauh mana kita benar-benar mengenali diri sendiri? Kita sering berhenti di permukaan: tubuh, emosi, perilaku. Kita jarang menyelami ruang terdalam dari diri, jarang menggali yang tersimpan di ketidaksadaran, apalagi menjangkau sesuatu yang disebut jiwa – bagian agung yang menceritakan siapa kita sebenarnya, yang mungkin berbeda dengan diri kita hari ini.

Seberapa sering di tengah kesibukan kita mencoba terhubung dengan jiwa? Rasanya jarang sekali. Tahun ini, sakit yang datang berulang membuat saya semakin sadar. Fisik yang dilemahkan memaksa saya bertanya: ketika tiba waktunya, siapkah jiwa saya melanjutkan perjalanan?

Pertanyaan itu, dengan segala kecemasannya, membuat saya kembali menatap ibadah yang saya jalankan: sholat lima waktu, sholat malam, puasa, membaca Al-Qur’an, dan ibadah lainnya. Bukankah semua itu sebenarnya sarana untuk menghubungkan diri dengan jiwa? Namun harus saya akui, pikiran dan perasaan sering kali tetap berkelana saat melakukannya. Sehingga keterhubungannya ke jiwa kadang sayup-sayup sampai saja.

Lalu bagaimana kita akan meneruskan perjalanan setelah mati, jika dunia dalam kita saja belum kita kenali?

Similar Posts

  • PARA PENCARI

    Seorang teman bercerita bahwa pada suatu waktu, dia pernah merasa sangat merinding mendengarkan seorang artis bernyanyi di panggung. Perasaan ini jarang sekali dia rasakan, jika menyaksikan suatu pertunjukan. Padahal jika dilihat lahiriahnya, tampilan musisi ini jauh dari kata syar’i. Sahabat ini kemudian bertanya pada sang artis/musisi, apa gerangan yang membuat dia merasa pertunjukan sang artis…

  • |

    KAWAH PUTIH

    Udah lama pengen ke tempat ini, Alhamdulillah akhirnya kesampaian Minggu kemarin. Sebelumnya pernah ke sini juga, cuma karena hujan deras, akhirnya gak bisa naik ke kawah. Alhasil memutuskan kembali ke Jakarta bersama rombongan. Perjalanan ke sini memakan waktu yang cukup panjang. Berangkat jam 10.00 pagi, tiba di sini pukul 15.30 sore. Lama banget ya…selain karena…

  • | |

    CERITA SAHABAT

    Kemarin saya mendapatkan pembelajaran yang luar biasa dari cerita salah satu sahabat saya, ibu Lulu Lumi Dewi Sekarsasi ‘Lulu’ . Dia bercerita tentang pembongkaran makam salah satu kerabatnya, utk keperluan pemakaman kerabat yang lain. MasyaAllah, saat makam dibongkar, kondisi mayyit masih dalam keadaan utuh dan baik. Kain kafan dan tubuh tidak hancur, hanya di beberapa…

  • | |

    JAMA’AH

    Domba yang sendirian akan lebih mudah diterkam serigala. Perumpamaan ini sering saya dengar dahulu, untuk menggambarkan pentingnya berada dalam sebuah jama’ah dalam beragama. Dahulu, saya yang cenderung didorong oleh motivasi internal dalam melakukan banyak hal, sering merasa kurang setuju dengan pernyataan ini. Buat saya waktu itu, kalau mau beribadah (dalam arti ritual syariat, berbuat baik)…

  • |

    BE YOURSELF

    Kata-kata ini sering kita dengar mungkin ya, ‘Be Yourself’, ‘Jadilah Diri Sendiri’, apa adanya saja. Apalagi ketika masih muda, sepertinya kata-kata ini terngiang-ngiang di telinga saya, agar tidak terintimidasi dengan pencapaian orang lain, tuntutan sosial dan lain sebagainya. Pertanyaannya sebenarnya: jadi diri sendiri yang mana? Kalau dilihat dari kacamata psikologi, yang namanya diri kita ini,…

  • | |

    TEMAN

    Kadang saya pikir, seseorang terus melakukan kebiasaan buruk simply karena mereka gak tahu bagaimana cara mengubahnya, atau gak punya contoh untuk berlaku sebaliknya. Seseorang yang hobi marah, reaktif, ya mungkin karena model di sekitarnya begitu, sehingga merasa gak ada yang salah dengan itu, sampai kemudian menemukan lingkungan/orang yang berperilaku sebaliknya. Seseorang yang mungkin pola hidupnya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *