SAMPAI AKU MENGERTI, IBU
Saat membaca buku Empat Arketipe karya Carl Gustav Jung, saya sangat terkesan dengan bagian archetype Ibu. Dalam teori Jung, sosok ibu merupakan sesuatu yang kompleks. Ia adalah representasi dari sesuatu yang agung, penuh welas asih dan kerahiman, namun juga bisa menjadi sosok yang kelam, seperti palung dalam yang menyimpan hal-hal suram dan tak terbayangkan.
Kontras ini tercermin dalam hubungan ibu dan anak, yang seringkali menjadi sumber gangguan neurotik dan psikologis. Mother complex dapat menimbulkan ketergantungan neurotis perempuan pada pasangannya, atau bahkan kebingungan identitas dan penolakan terhadap keperempuanan. Hubungan ibu-anak laki-laki pun dapat memunculkan dinamika seksual yang menyimpang dan berbagai komplikasi psikologis lainnya.
Ibu adalah sosok yang dimuliakan oleh Baginda Nabi. Hadits terkenal, “Ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu”, menjadi pedoman tentang betapa tingginya derajat seorang ibu. Namun, bagi sebagian orang yang memiliki luka batin terhadap ibunya, hadits ini bisa terasa sangat berat. Bagaimana bisa mencintai seseorang yang menyakiti hampir setiap hari? Beberapa cerita yang saya baca bahkan menceritakan betapa seseorang merasa lega ketika ibunya meninggal dunia—bukan karena benci, tapi karena luka yang terlalu dalam.
Hubungan saya dengan ibu pun bukan hal yang mudah. Saya dibesarkan dalam lingkungan religius yang sangat menjunjung tinggi ketaatan pada orang tua. Menjadi anak shalih berarti tidak membantah, tunduk, dan tidak ada ruang untuk berbeda. Sementara saya tumbuh di era yang lebih modern, dengan pandangan bahwa perempuan bisa aktif dan berkiprah di luar rumah. Prestasi akademik saya tidak selalu dianggap penting. Ibu saya, dengan latar pendidikan terbatas dan beban mengasuh tujuh anak, memegang nilai-nilai patriarki meski berasal dari budaya matrilineal.
Cinta ibu saya terasa bersyarat: menjadi perempuan baik berarti mengabdi pada rumah, suami, dan anak-anak. Sementara saya punya impian lain. Namun tanpa sadar, saya pun menyerap nilai pengorbanan itu: rela menanggalkan impian demi orang yang saya cintai. Hal ini menimbulkan keletihan fisik dan emosional yang panjang.
Hubungan kami rumit, antara ingin berbakti dan rasa marah karena merasa tidak diterima. Mengapa ibu tak pernah puas, meski saya sudah berprestasi, membantu pekerjaan rumah, bahkan menyetrika pakaian keluarga setiap akhir pekan? Mengapa ibu tak pernah berkata, “Aku bangga padamu”? Pertanyaan ini menghantui masa remaja saya, menumbuhkan kegelapan dalam proses pembentukan identitas keperempuanan saya.
Saat saya menjadi ibu, saya mulai memahami. Perjuangan ibu sebagai perempuan sangat berat. Tuntutan ekonomi, cinta pada anak, dan pelayanan pada suami adalah beban yang luar biasa. Pemahaman ini memudarkan amarah saya, meski belum cukup untuk membangun kembali kedekatan yang sempat hilang. Saya mencoba berbakti sebisa saya: menelpon, pulang kampung, mengirim uang. Namun jarak emosional masih terbentang.
Hingga saya jatuh sakit dan harus menjalani operasi, dua minggu setelah pulang dari kampung halaman untuk menemani ibu yang tengah sakit dan mulai menderita demensia. Tiga hari saya merawatnya. Kurang tidur, kelelahan, dan tetap menghadapi sifat kerasnya.
Pulang dari kampung saya jatuh sakit dan harus dioperasi. Operasi kedua dalam satu tahun terakhir. Operasi yang menyebabkan saya kesulitan untuk buang air, namun tetap harus ke toilet. Entah bagaimana, kesulitan saya pasca operasi seperti kesulitan ibu saya di rumah sakit pada saat menemani beliau. Langkah tertatihnya, kelemahannya, kesulitannya seperti saya ulangi dalam sakit ini. Saya sadar kemudian Tuhan sedang menegur saya bahwa ada hal yang masih harus saya bereskan dengan Ibu.
Perlahan kemudian saya mulai menyadari Ibu saya bukan sosok yang sempurna. Dia sama dengan manusia lain, bahkan diri saya sendiri. Ada sisi baik dan buruknya. Mungkin benar bahwa apa yang dilakukannya dulu dan beberapa sifatnya dapat menimbulkan luka batin. Tapi cintanya adalah cinta yang sempurna. Pengorbanannya untuk saya tanpa balas. Cintanya mungkin disampaikan dengan bahasa yang mengatur, namun lahir dari keinginan agar saya menjadi perempuan terbaik yang dia tahu. Saya yang kurang belajar menerima dan memahami. Hubungan yang rumit ini, bukan hanya karena kesalahannya, namun juga karena hati saya yang tak lapang.
Hari ini, satu beban terangkat dari hati saya. Hadir cinta yang lembut, ringan, penuh penerimaan. Maafkan aku, Ibu, atas semua marahku, atas kurang baktiku. Engkau adalah anugerah Tuhan terindah untukku.