MENIKAH DAN SETENGAH AGAMA
“Pernikahan sejatinya adalah untuk mengasah aspek batin. Karena itu (dia) disebut ‘setengah agama’.” Kata-kata ini muncul kembali dari postingan saya beberapa tahun lalu di FB dan membuat saya teringat satu pertanyaan yang diajukan seorang teman dulu, ‘kenapa menikah disebut setengah agama?’
Banyak orang berpikir, – saya dulu juga begitu-, pernikahan semata-mata urusan cinta. Aku cinta kamu, kamu cinta aku, mari kita bersama. Pernikahan adalah untuk punya teman dalam menjalani hidup. Jadi seperti tidak ada urusannya dengan aspek batin kita. Untuk memenuhi kebutuhan afeksi/emosi, memperbanyak keturunan, punya teman hidup, gak kesepian, dsbnya, yang buat saya pribadi masih terdengar memenuhi ‘aspek lahir’ saja. Aspek psikologis saja.
Ada yang bilang juga nikah itu setengah agama karena dia merupakan ibadah. Pertanyaannya, ibadah yang bagaimana? Seperti apa? Kenapa bisa membuat kita menggenapkan setengah agama? Apakah sebatas bersama-sama membangun generasi yang hebat dan ya katakanlah hidup dengan syariat islam? Apa sekedar jadi sering ibadah (lahir) bareng, ngumpulin pahala, lalu masuk surga bareng-bareng? Mungkin itu benar juga, tapi buat saya pribadi itu masih terlalu permukaan. Pastilah ada yang lebih dalam daripada itu, untuk membuatnya bernilai setengah agama.
Saya kemudian menyadari, kuncinya adalah dinamika dalam pernikahan itu sendiri. Untuk mereka yang sudah menikah tentu sudah memahami, banyak ujian hadir dalam pernikahan. Entah dari pasangan, anak, finansial, keluarga besar, atau yang lainnya. Ada seribu satu wajah ujian dalam pernikahan, kata orang-orang.
Buat saya pribadi, ujian hidup terbesar itu di pernikahan. Saat-saat terberat adalah masa-masa penuh konflik dan berakhir dengan perceraian dulu. Bayangkan saja, setiap hari dirundung masalah yang sama, orang yang sama, dia lagi dia lagi. Ribut lagi ribut lagi .
Tapi setelah melewatinya, saya baru menyadari justru masa-masa sulit itulah yang ‘mendidik’ saya. Masa-masa sulit itu yang menelanjangi siapa saya sebenarnya. Yang mengungkap kekurangan, cara pandang yang salah dan membuat saya merenung. Sesuatu yang kemudian membuat banyak hal baru tumbuh, pemahaman terhadap hidup berubah, mendorong untuk memperbaiki aspek batin seperti sabar, syukur, tawakal, dsbnya. Singkat kata, pernikahan melengkapi pemahaman aspek batin ‘Din’ atau agama, lewat keterpurukan dan ujian-ujian.
Saya merasa dididik habis-habisan oleh Tuhan dengan dinamika pernikahan ini. Jika ditanya sekarang apakah saya menyesal melewati itu semua, jawabnya ENGGAK.
Kenapa? Karena saya gak tahu akan jadi manusia yang seperti apa jika tidak dihadapkan dengan ujian dalam pernikahan ini. Pasti luar biasa petantang petentengnya atau merasa diri baik-baik saja, padahal penuh dengan keyakinan yang salah di dalamnya atau penuh dengan penyakit hati. Kurang paham apa artinya sabar, tawakal, syukur, berserah diri, dll, karena tidak ada dalam situasi yang menuntut untuk demikian. Mungkin juga kurang merasakan kehadiran dan pertolongan-Nya, yang membuat keyakinan bertambah, karena situasi selalu baik-baik saja. Buat saya pribadi, menikah dengan segala dinamikanya, membentuk diri menjadi lebih baik dan belajar mengandalkan Dia. InsyaAllah.
Maka nasihat saya untuk adik-adik di luar sana: MENIKAHLAH. Menikahlah dan niatkan karena-Nya, agar Dia pandu sepanjang pernikahan dan Dia asah jadi versi terbaikmu. Memperbaiki aspek batinmu, menggenapkan setengah agamamu. Belajar untuk menghadapi rumitnya pernikahan dalam keyakinan yang besar pada-Nya. Nilainya sungguh luar biasa.
Nasihat kedua: PUNYA ANAKLAH. Dengan alasan yang sama. Punya anak dan mengasuhnya akan mendorongmu ke versi terbaik. Tentu jangan mengandalkan diri sendiri untuk mencapai ini. Jangan pake BANGET. Menikah dan punya anak itu saatnya kamu mengandalkan Dia dalam menjalani hidup. Bukan dirimu atau orang lain.
Depok, 4 September 2024