Bagaimana jika hidup berjalan tidak ideal? Pertanyaan ini muncul di benak saya saat menonton Jumbo, sebuah film animasi yang sedang menarik perhatian. Tokoh-tokoh utamanya adalah empat anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak utuh. Don, misalnya, kehilangan ayah ibunya sejak balita dan dibesarkan oleh sang nenek. Nurman, Mae, dan Atta pun tidak tinggal bersama orang tua kandung mereka. Bahkan, Mae digambarkan tidak tahu siapa orang tuanya.
Sebagai seseorang yang berlatar belakang psikologi dan cukup lama bergelut di dunia anak dan keluarga, saya cukup akrab dengan teori perkembangan anak. Idealnya, anak tumbuh dalam keluarga yang lengkap, dengan orang tua yang memahami perannya masing-masing. Banyak penelitian menunjukkan dampak dari ketiadaan figur orang tua—salah satunya yang paling membekas bagi saya adalah keterkaitannya dengan penyimpangan perilaku seksual akibat absennya figur ayah dan dominannya figur ibu. Teori ini sering membuat saya cemas, karena relevan dengan kondisi anak-anak saya sendiri.
Lalu, bagaimana jika hidup memang berjalan tidak ideal? Sebagian orang tua meratapi nasib, menyalahkan keadaan, pasangan/mantan pasangan, bahkan takdir. Saya pun pernah berada di fase itu. Bertanya-tanya: Akan jadi apa anak saya? Mengapa saya harus mengalami ini?—pertanyaan yang lahir dari rasa tidak terima, dan pada akhirnya, tidak membantu apa-apa.
Saya ingat masa-masa tergelap setelah perceraian. Rasa bersalah yang paling besar datang dari melihat anak-anak terluka. Saat melihat anak saya hancur dan kesulitan untuk bangkit, saya pun ikut runtuh. Ia marah dan melampiaskan semuanya pada saya—orang tua yang berada di dekatnya. Tapi saya tak bisa menyalahkannya. Saya tahu, luka itu bukan salahnya. Dan meski dipenuhi teori dalam kepala, saya sendiri pun sedang mencoba bangkit dari kehancuran.
Bagaimana akhirnya semua terlewati? Saya teringat satu malam yang berat. Anak saya meluapkan semuanya, dan saya hanya bisa tersungkur dalam doa. “Tuhanku, anak ini milik-Mu. Aku benar-benar tak berdaya tanpa pertolongan-Mu. Tolong kami.” Itu doa yang saya ulang berkali-kali, malam demi malam. Doa yang kemudian Dia jawab dengan cara yang ajaib.
Suatu hari, dalam percakapan yang jujur, anak saya berkata, “Aku paham, Bun, kenapa aku begini. Aku marah, aku dendam, dan kemarahan itu membakarku.” Katanya. Dia sampai pada kesimpulan itu setelah menonton anime kesukaannya. “Dendam itu buruk, Bun. Aku ingin belajar memaafkan.” Saya tertegun. Tuhan membukakan jalan penyembuhan melalui cara yang tak saya duga. Setelah itu, meski prosesnya tetap naik-turun, semuanya jadi lebih mudah.
Jadi, bagaimana jika hidup berjalan tidak ideal? Sekarang, kalau ditanya caranya menghadapi semua itu, saya hanya menjawab singkat: “Tenang, ada Tuhan.” Kamu mungkin tidak tahu seperti apa jalan ceritanya nanti, tapi yakinlah—Dia akan menolongmu, jika kamu berserah.