|

ISLAM, IDENTITAS DAN BAHASA: TENTANG DOA DAN ATURAN DALAM ISLAM

Saya tergelitik oleh sebuah pertanyaan yang diajukan seseorang di sebuah thread:

“Kenapa umat Islam harus berdoa dalam bahasa Arab? Kenapa tidak bisa menggunakan bahasa bebas seperti agama lain? Tuhan kan pasti mengerti bahasa apapun yang digunakan hamba-Nya?”

Sekilas, pertanyaan ini terlihat sederhana. Tapi kesannya, Islam ini penuh aturan—bahkan dalam hal yang sangat personal seperti berdoa saja ada “bahasa resmi”-nya. Jadi rumit, ya?

Dalam thread tersebut, beberapa orang menjelaskan bahwa berdoa sebenarnya bebas saja. Meski ada doa-doa yang dianjurkan dalam bahasa Arab, seorang Muslim sangat diperbolehkan berdoa dalam bahasa sendiri. Saya pribadi pun, setelah melafalkan doa-doa wajib usai sholat, biasanya berdoa cukup panjang dalam bahasa sendiri. Dan itu sah-sah saja. Sangat sah, bahkan.

Namun dalam tulisan ini, saya ingin mengulas lebih jauh. Kenapa agama ini tampak sangat mengatur? Mengapa harus menggunakan bahasa Arab dalam banyak aspek: sholat, kitab suci, doa-doa, hadits? Mengapa tidak serba bebas saja? Bukankah hubungan dengan Tuhan itu sangat personal?

Islam, sejauh yang saya pelajari, membangun sebuah sistem. Sebuah cara hidup, sebuah ideologi. Ia tidak hanya membentuk individu, tetapi juga keluarga, masyarakat, hingga negara. Ideologi ini berakar pada hubungan yang dalam dan personal dengan Tuhan, dengan harapan bahwa perbaikan individu akan berkontribusi pada perbaikan sistem di luar dirinya.

Dari dalam ke luar. Perlahan-lahan.

Perhatikan Rukun Islam, yang secara keseluruhan merupakan syariat wajib yang menuntun hidup seorang Muslim. Dimulai dengan syahadat. Apa maknanya? Penghambaan mutlak. Tidak ada Tuhan selain Dia—bukan berhala, bukan harta, bukan kedudukan, bukan hawa nafsu, bahkan bukan diri kita sendiri. Hanya Dia. Titik.

Penghambaan total ini, kalau direnungkan, sangatlah berat. Kita cenderung dikuasai hawa nafsu secara brutal. Seberapa sering kita sungguh-sungguh menempatkan Allah sebagai dasar pengambilan keputusan? Saya pun sering lupa. Kadang ingat, kadang luput.

Sholat datang sebagai fondasi. Sebuah pitstop, tempat istirahat dari hiruk pikuk dunia. Mereka yang sudah memasuki usia kepala empat mungkin makin sadar, bahwa dunia ya begitu-begitu saja. Terus berputar hingga akhirnya kita mati. Sholat membantu kita berhenti sejenak dan kembali mengingat arah hidup.

Puasa pun serupa. Ia adalah latihan mengendalikan diri—mengelola kebutuhan fisik agar tidak menjadi penguasa dalam diri kita. Karena itulah banyak laku spiritual mengajarkan puasa: agar kita terhubung dengan diri sejati.

Zakat menambahkan dimensi sosial. Apa yang kita miliki bukan sepenuhnya milik kita. Ada hak orang lain di dalamnya. Tidak hanya dalam bentuk zakat maal, tapi juga zakat fitrah—sebuah penanda bahwa bahkan yang tidak berharta pun tetap punya tanggung jawab sosial. Di sinilah Islam mulai membangun keterkaitan antar individu dalam masyarakat.

Tolong-menolong, bangun-membangun, tanggung jawab sosial. Seharusnya tidak ada jurang antara si kaya dan si miskin, karena dalam setiap harta si kaya, ada hak si miskin.

Banyak aturan Islam yang senada. Misalnya larangan riba:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 276)

Pinjol, salah satu masalah besar bangsa kita hari ini, akarnya adalah praktik riba. Allah tahu, kita mudah terjebak pada cinta dunia, ingin harta berlimpah demi “jaminan tujuh turunan dan tanjakan.” Maka Islam hadir dengan sistem muamalah—aturan transaksi ekonomi untuk menjaga keadilan sosial.

Intinya: banyak aturan dalam Islam bukan untuk menyulitkan, tapi untuk membangun sistem kehidupan yang adil. Dimulai dari penghambaan, lalu pengendalian diri, lalu hubungan sosial. Sebuah bangunan nilai yang utuh.

Lalu apa hubungannya dengan doa dalam bahasa Arab?

Kata kuncinya adalah sistem dan masyarakat. Islam tidak hanya membina individu, tapi membentuk jama’ah—sebuah komunitas yang saling menguatkan. Untuk membangun sistem seperti itu, dibutuhkan identitas bersama. Pengikat yang menghubungkan berbagai manusia lintas budaya dan bangsa.

Dan bahasa adalah salah satu pengikat paling kuat.

Saat saya berada di luar negeri dan mendengar orang berbicara bahasa Indonesia, saya akan menoleh dan tersenyum. Ada rasa terhubung. Begitu pula dengan bahasa Arab dalam Islam. Bahasa ini menjadi pengikat emosional dan spiritual antar Muslim di seluruh dunia. Kita bisa sholat berjamaah di negeri asing dan tetap merasa “di rumah,” karena kita menggunakan bahasa yang sama dalam ibadah.

Apakah harus bahasa Arab? Itu pembahasan tersendiri. Tapi sebagai gambaran: salah satu teman saya, seorang poliglot, mengaku bahwa bahasa Arab adalah yang paling kompleks ia pelajari. Strukturnya presisi, maknanya berlapis, dan sangat kontekstual. Saat guru saya menguraikan Al-Qur’an dari akar katanya, saya makin kagum dengan kedalamannya. Itu saja sudah cukup bagi saya untuk memahami kenapa bahasa ini dipilih sebagai medium wahyu.

Lalu, apakah karena bahasa Arab digunakan dalam ritual, kita harus menjadi ke-Arab-Arab-an?

Tentu tidak. Allah telah berfirman dalam QS. Al-Hujurat:13:
“Kami menciptakan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…”

Islam menghargai keberagaman. Kesamaan bahasa dalam ritual tidak meniadakan identitas lokal. Bahkan, guru saya menekankan pentingnya jati diri: dari mana kita berasal, di bumi mana kita ditakdirkan untuk berkiprah. Menjadi Muslim tidak berarti kehilangan keindonesiaan kita.

Bahasa Arab dalam ritual adalah identitas bersama. Tapi kita juga memiliki identitas kebangsaan, suku, dan budaya yang tidak kalah penting. Semua itu bukan untuk dibenturkan, melainkan disatukan dalam misi kehidupan yang satu: penghambaan kepada Allah, dan pengabdian pada sesama.

Puncaknya terlihat saat Haji. Jutaan manusia dari berbagai negara berkumpul di Arafah, tanpa atribut duniawi. Hanya satu yang membedakan: takwa. Mereka datang sebagai hamba—dengan selembar kain, dan harapan akan ampunan.

Itulah identitas sejati seorang Muslim. Bukan untuk jago-jagoan. Bukan untuk menjadi superior. Tapi sebagai pengingat, bahwa suatu hari kita akan pulang, hanya membawa takwa di hati.

Indah, dan sangat dalam, bukan?

Similar Posts

  • PILIHAN DAN KEBERLIMPAHAN

    Salah satu hal yang saya syukuri dari pekerjaan di dunia training adalah bisa mencicipi makanan dari beragam hotel, di berbagai tempat. Semacam wisata kuliner, dengan beragam menu, dan itu gratis. Awalnya saya bahagia sekali karena mendapatkan kemudahan mencicipi makanan enak ini. Akan tetapi, belakangan saya mulai menyadari, ketika suatu kali makanan yang dihidangkan enak semua,…

  • MENAKAR DIRI

    Beberapa hari ini kedua kaki saya sedang sakit sekali. Awalnya karena ingin ikutan olahraga memperkuat otot dan tulang, maka pergilah saya menemani si Abang Radja nge-gym di suatu hari. Karena belum tahu harus apa, saya hanya mengikuti instruksi si Abang yg sudah hampir setahun ini rutin nge-gym. Dia bilang, karena saya beginner, maka untuk awal…

  • KOLESTEROL

    Beberapa waktu lalu saya melakukan MCU secara mandiri. Dari hasil pemeriksaan diketahui kolesterol saya cukup tinggi dan harus mulai menjaga pola makan. Awalnya saya tidak begitu menyadari konsekuensi dari pemeriksaan tersebut. Salah satu makanan yang saya rasa paling signifikan meningkatkan kadar kolesterol saya adalah daging merah. Saya pikir tidak akan terlalu bermasalah jika saya diet…

  • HUJAN

    Ketika saya terjaga dini hari tadi, hujan sedang turun deras sekali. Suaranya menembus kaca-kaca apartemen yang saya tinggali. Petir sambar menyambar, membuat saya berpikir dua kali utk membuka gordyn melihat situasi di luar. Pagi ini, langit terlihat cerah dan bersih. Udara segar terasa langsung menyapa penghidu, saat saya membuka kaca jendela kamar. Hujan deras sudah…

  • PARA PENCARI

    Seorang teman bercerita bahwa pada suatu waktu, dia pernah merasa sangat merinding mendengarkan seorang artis bernyanyi di panggung. Perasaan ini jarang sekali dia rasakan, jika menyaksikan suatu pertunjukan. Padahal jika dilihat lahiriahnya, tampilan musisi ini jauh dari kata syar’i. Sahabat ini kemudian bertanya pada sang artis/musisi, apa gerangan yang membuat dia merasa pertunjukan sang artis…

  • | | |

    INSPIRASI

    (CATATAN 18 NOVEMBER 2022) Kemarin hari yang sangat mengesankan bagi saya. Allah menghadirkan sebuah pelajaran langsung, bagaimana individu berkebutuhan khusus dapat berdaya maksimal, jika diberi kesempatan, di hari terakhir training yang saya ikuti. Minggu ini sebenarnya merupakan minggu yang agak melelahkan. Setelah perjalanan panjang keluar kota, jadwal training padat dari Senin hingga Kamis. Puncaknya di…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *