Induk Gajah, Pengasuhan, dan Refleksi Diri
Libur lebaran lalu saya menyempatkan diri menonton drama series Induk Gajah, rekomendasi dari seorang teman. Cerita hubungan ibu dan anak dengan latar belakang budaya Batak dan dibumbui percintaan hasil perjodohan. Drama komedi yang lucu, menarik dan sepertinya juga cukup hits saat ini.
Satu hal yang menarik yang tertangkap oleh saya adalah karakter Marsel, yang diperankan oleh Dimas Anggara. Sosok Marcel di sini digambarkan sebagai laki-laki yang baik, penyayang, cenderung patuh pada orang tua, namun juga kurang tegas dalam mengambil keputusan. Sikap kurang tegasnya ini menyebabkan Marcel kehilangan pacar yang dicintainya dan nyaris kehilangan Ira, kekasih yang hadir karena perjodohan. Ada ketakutan dalam mengambil tindakan karena tidak ingin berkonflik dengan sosok ibu yang galak dan dominan.
Menarik melihat bagaimana sang ibu yang diperankan oleh Tamara Geraldine, mengatur hampir semua pilihan hidup Marcel, mulai dari jodoh hingga pekerjaan yang dijalani. Sang Ibu bisa mengancam menutup usaha kafe Marcel jika dia tidak menuruti perintah ibunya.
Nampaknya dari sini sikap kurang tegas ini berasal. Orang tua yang dominan, cenderung harus selalu dipatuhi, dalam beberapa penelitian memang menghasilkan anak yang penurut, namun cenderung kurang inisiatif, takut dan seringkali ragu dalam mengambil keputusan.
Pola asuh yang sama juga dapat menghasilkan anak yang pemberontak, kasar dan cenderung bermasalah dengan hubungan dgn orang lain. Singkat cerita, drama series ini berhasil menggambarkan secara halus bagaimana dampak pengasuhan pada individu dewasa.
Bagaimana pola asuh orang tua akan mempengaruhi seseorang, mungkin sudah banyak diketahui umum. Namun menyadari sepenuhnya dampaknya pada perilaku kita dan juga efeknya pada hubungan dengan orang lain, nampaknya menjadi PR tersendiri. Dalam banyak kasus, orang bertindak otomatis, begitu saja, tanpa disadari sepenuhnya. Akibatnya perilaku yang sama ditampilkan berulang-ulang, tanpa menyadari ada yang salah dengan perilaku tersebut.
Tidak mudah memang ya meneropong kondisi kita per hari ini. Buat saya pribadi pada akhirnya itu mengantarkan pada menuliskan life journey secara jujur, lengkap dengan kondisi orang tua, karakteristik mereka, cara mereka menangani situasi, kondisi lingkungan sekitar, termasuk juga kondisi sosial ekonomi dimana saya dibesarkan. Dalam proses menuliskannya, saya melihat kemudian beberapa sifat yang terbentuk sekarang, hasil dari interaksi sekian banyak faktor tersebut, yang ternyata muncul berulang. Menuliskannya dan menceritakannya kembali pada orang-orang yang saya percaya, membantu saya melihat lebih detail dan komprehensif tentang apa yang terjadi dalam hidup saya hingga hari ini.
Hasilnya tentulah belum sempurna. Masih banyak blind spot yang belum diketahui, karena pasti ada hal-hal yang tidak bisa kita lihat. Dalam hal ini, saya percaya membuka diri dari masukan orang-orang terdekat secara berkala, akan membantu melengkapinya.
Menuliskan cerita perjalanan hidup sebenarnya salah satu bentuk usaha lahiriah saja untuk terus berkembang dan memperbaiki diri. Semoga suatu hari Allah sempurnakan dengan pemahaman yang lebih hakiki.
Yuk mulai refleksi dengan menuliskan perjalanan hidupmu sendiri.