CERITA DARI TANAH PAPUA (3): PERJALANAN YANG MENGGUGAH HATI
Hari kedua bersama guru-guru Sekolah Asrama Taruna Papua menjadi hari yang paling mengesankan untuk saya, karena pada hari itu kami berkesempatan mengunjungi langsung sekolah asrama ini dan berinteraksi lebih jauh dengan anak-anak.
Training hari kedua berjalan lancar. Guru-guru membawa buku yang menarik bagi mereka untuk praktik langsung bagaimana membaca buku dengan teknik SQ3R. Tanya jawab seputar perkembangan dan belajar anak juga masih bergulir. Semua hal, yang seperti saya ceritakan sebelumnya, menjadi alasan saya berada di tengah mereka. Saya senang sekali rasanya.
Setelah makan siang yang terlambat, tim dari SATP sudah menunggu kami di lobi untuk berangkat ke Asrama. Sejujurnya, sebelum ada tawaran mengunjungi sekolah asrama ini, saya sudah berencana untuk berkeliling kota Timika, atau setidaknya ke daerah Kuala Kencana yang menjadi ikon kota ini. Belum lengkap ke Timika, jika belum ke Kuala Kencana, begitu kata para guru ketika saya bertanya kami sebaiknya kemana dalam waktu yang padat ini. Namun tawaran mengunjungi Sekolah Asrama dan melihat dari dekat aktivitas di sana secara langsung, juga bukan tawaran yang mudah untuk ditampik. Kami kemudian meng-iya-kan penawaran ini, yang menjadi keputusan terbaik dalam kunjungan perdana ini.
Sekitar pukul 4 kami tiba di gerbang sekolah. Beberapa pengurus yayasan yang sudah kami kenal sebelumnya menyambut di gerbang. Setelah bertegur sapa dan penjelasan singkat tentang sekolah ini, kami pun diajak melangkah mengunjungi setiap bagian sekolah.
Sambutan pertama adalah halaman sekolah yang sangat luas dengan gedung berisi ruang kelas yang melingkarinya. Pengurus yayasan menjelaskan program apa saja yang ada di sana, bagaimana anak-anak ini direkrut dan diambil dari dua suku utama: Amungme dan Komoru, serta 5 suku kerabat lainnya. Bagian paling menarik untuk saya saat itu adalah saat memasuki ruang Montessori. Beragam alat yang terasa cukup familiar disusun rapi dalam ruangan ini. Kepala Montessori mereka bercerita bagaimana anak-anak ini diajarkan dulu untuk beradaptasi dengan rutinitas pembelajaran lewat metode montessori. Beberapa anak belum lancar berbahasa Indonesia, beberapa lainnya belum bisa berhitung, menulis dan membaca. Seluruh ketertinggalan ini dipenuhi lewat rencana program individu yang diberikan lewat pendekatan Montessori. Ingatan saya terbang pada hari-hari saat menjadi guru dan berinteraksi dengan anak spesial di suatu sekolah khusus. Hari-hari yang sangat menyenangkan dan indah untuk dikenang setelah puluhan tahun kemudian.
Kami kemudian diajak melihat asrama dimana anak-anak dan para guru tinggal. Bagian ini yang paling tidak mudah saya lupakan. Melihat anak-anak berlarian, ada yang bermain bola, basket, futsal atau sekedar berlarian bersama teman-temannya. Dunia anak yang riang tampak jelas sore itu. Guru-guru yang penuh pengabdian melambaikan tangan pada kami. Pembina-pembina asrama tinggal bersama anak-anak. Tidur di kamar yang sama dengan mereka. Tentu tidaklah mudah jika tidak punya hati yang luas membersamai anak-anak dengan latar belakang yang berbeda ini. Mendidik mereka tentang perawatan diri, menjaga kesehatan, adab yang baik dan lain sebagainya. Dua puluh empat jam, tujuh hari dalam seminggu. Jeda hanya jika anak-anak libur sekolah, atau mereka cuti. Benar-benar dedikasi yang luar biasa dan lahir dari kecintaan hati. Melihat ini ingatan saya melayang pada guru-guru anak berkebutuhan khusus di sebuah lembaga sosial yang pernah sangat dekat dengan kehidupan saya beberapa tahun yang lalu. Saya melihat cinta yang sama, ketulusan hati yang sama dalam melayani anak-anak, yang menyentuh hati saya juga. Semoga mereka semua selalu diberkati Tuhan. Amin.
Anak-anak menghampiri kami, bersalaman, mengajak toss. Senyuman mereka yang lebar, binar matanya, mewarnai hati saya sore hati. Sejenak saya rindu pada hari-hari penuh canda tawa khas anak-anak yang mewarnai hidup saya dulu. Saat ini saya belum kembali ke sana, dan saya tidak tahu akan seperti apa ke depannya. Tapi saya kembali mengerti kenapa saya ada di sana. Hidup kita ini bukan hanya untuk kita sendiri, tapi juga menjadi berkat untuk orang lain. Apapun yang kita lakukan seharusnya menjadi rahmat untuk orang lain. Kepergian saya kali ini ke kota yang jauh ini menguatkan lagi makna ini untuk saya.
Sore itu kami tutup dengan hadiah di hati. Sebuah kenangan indah tentang sebuah kota nun jauh di sana, berisi anak-anak Papua yang didampingi guru-guru yang berdedikasi. Hati saya sepertinya masih tertinggal di sana. Liburan yang saya keluhkan hanya sekejab saja, ternyata sungguh berharga nilainya. Tidak hanya sekedar menyegarkan pikiran, namun juga hati.
Hari itu saya membenarkan kata-kata guru, untuk seorang pejalan, liburan seharusnya juga harus ada makna. Tidak hanya sekedar healing-healing bersenang-senang dan tertawa. Semoga perjalanan kali ini termasuk dalam itu semua.
Amin…



