BELAJAR LEWAT MENDENGARKAN

Saya telah beberapa kali menulis tentang mendengar aktif dan manfaatnya—baik dalam interaksi sehari-hari maupun di dunia sales dan bisnis. Kita sudah memahami bahwa mendengar aktif memberi dampak positif bagi orang lain. Ia bisa sangat membantu mereka yang sedang dalam kesulitan. Dalam konteks bisnis, mendengar aktif membantu klien lebih memahami kebutuhannya, yang pada akhirnya juga berdampak baik bagi bisnis kita.
Beberapa hari lalu, saya mendapat pencerahan lain tentang (lagi-lagi) manfaat mendengar aktif. Namun kali ini dari sudut pandang yang berbeda: manfaatnya bagi si pendengar itu sendiri.
Dalam beberapa training komunikasi, saat dilakukan debrief setelah praktik mendengar aktif berpasangan, banyak peserta mengakui bahwa mendengar aktif ternyata bukan hal yang mudah. Ada rasa bosan dan keinginan untuk segera menanggapi, terutama jika apa yang disampaikan terasa relate dengan pengalaman pribadi si pendengar. Bahkan muncul dorongan untuk memotong atau menasihati, terutama jika cerita lawan bicara terasa kurang tepat atau bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini pendengar. Singkatnya, usaha yang diperlukan untuk mendengarkan secara aktif cukup besar, dan itulah yang membuatnya menjadi skill yang menantang.
Beberapa pekan lalu, saya menghadiri reuni tahunan Forum Ukhuwah dan Studi Islam (FUSI) Psikologi UI, tempat saya pernah aktif sekitar tahun 1998–2000. Saya berangkat pagi-pagi nebeng teman dari Depok. Sepanjang perjalanan kami banyak berdiskusi tentang kondisi bisnis saat ini. Kebetulan, saya dan teman saya ini sama-sama mengelola bisnis dengan nature yang cukup mirip.
Sepanjang diskusi itu, saya lebih banyak mendengarkan. Saya memang sedang membutuhkan sudut pandang lain tentang situasi ekonomi dan tantangan bisnis serupa. Teman saya banyak bercerita tentang proses akuisisi perusahaannya, langkah-langkah yang mereka ambil, hingga tantangan dan solusi yang mereka temukan. Pembicaraan itu benar-benar berharga bagi saya karena memberi banyak insight yang saya butuhkan.
Saat pulang, saya mengobrol dengan teman lama lainnya sambil menunggu jemputan. Dia bercerita tentang penyakit yang sedang ia derita. Saya mendengarkan ceritanya—tentang upaya penyembuhan, diet yang dijalani, dan langkah-langkah menjaga kesehatan. Awalnya saya hanya mengobrol biasa, tapi lama-kelamaan saya sadar bahwa saya justru sedang menyerap begitu banyak informasi penting dan baru yang sangat berguna untuk kondisi saya sendiri.
Saat tiba di rumah, saya tersadar: semua informasi berharga tadi bisa saya dapatkan karena saya benar-benar mendengarkan. Percakapan kami berlangsung dua arah dan cukup panjang, namun saya merasa porsi saya lebih banyak sebagai pendengar. Dari situlah, teman-teman saya jadi lebih terbuka, dan khasanah pengalaman mereka pun mengalir keluar.
Bagi saya ini sungguh mind blowing. Ternyata, kegiatan mendengarkan—yang kadang terasa membosankan, apalagi kalau topiknya awalnya tidak terlalu relevan—bisa membuka pintu pada banyak hal baru yang justru sangat kita butuhkan. Jika kita mengizinkan diri untuk mendengarkan dengan sepenuh hati, bisa jadi kita menemukan mutiara yang selama ini tersembunyi dalam cerita orang lain.
Jadi… memang tidak ada ruginya mendengarkan, bukan? Karena mendengarkan dengan niat yang tulus, seringkali justru menjadi jalan terbaik untuk belajar.