UJIAN DAN PELAJARAN HIDUP
“Ibu nomor antrian keberapa, Bu?” tanya perempuan muda yang ramah itu. Aku melihat nomor antrian di tanganku: lima puluh tujuh.
“Saya ada dua nomor antrian, Bu. Ibu silakan pakai yang ini saja,” katanya sambil menyodorkan tiket nomor 26.
Aku bersyukur, tidak harus mengantri panjang untuk kunjungan pertamaku ke RSUI hari ini. Ya, aku memang harus mengulang prosedur antrian BPJS karena dirujuk dari dokter di rumah sakit tempat aku biasanya periksa rutin. Rezeki nomplok dari perempuan yang baru saja kukenal ini, yang semula hanya kusapa untuk menanyakan prosedur pendaftaran awal di RSUI.
Kami kemudian saling berbagi cerita tentang penyakit yang sedang singgah di tubuh kami. Kista, katanya, panjangnya 6 cm. Dokter di rumah sakit awal menyarankan pindah ke RSUI agar bisa mengakses layanan BPJS jika ada treatment lanjutan pasca operasi. Jadilah ia harus bolak-balik ke sini juga.
“Awalnya saya sempat khawatir, Bu, karena harus dioperasi. Saya sempat down dan sulit menerima,” ungkapnya. “Lalu saya pikir memang harus dijalani, sudah diatur Allah SWT.” Kalimat itu ia tutup dengan tawa ringan, yang justru membuat kata-katanya terasa lebih menenangkan.
Pagi itu menjadi istimewa untukku. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku pun berusaha memahami apa yang kurasakan dalam proses bolak-balik berobat untuk cervical syndrome yang kualami hampir setahun ini. Ada lelah, bosan, bahkan ingin masa bodoh saja. Namun aku merasa Allah sedang mengajarkan lagi dan lagi bab sabar dengan proses. Kalimat perempuan muda ini seolah menguatkanku.
Sehari sebelumnya, seorang teman menyampaikan kabar mengejutkan tentang adiknya yang ditengarai mengidap kanker. Pekan-pekan ini, sang adik harus bolak-balik ke Dharmais untuk memastikan diagnosa. “Sepertinya memang kanker,” katanya, “dokter di tempat gue bilang begitu.” Kabar ini membuat keluarganya terpukul.
“Gue cuma kepikiran pekerjaannya. Proses pengobatan kanker kan gak sebentar,” tambahnya. Aku hanya bisa mendengarkan, lalu berkata, “Kadang-kadang, hidup memang diputar ulang lewat peristiwa sulit. Dulu gue pikir hidup gue selesai saat semua berantakan. Tapi ternyata Tuhan sedang me-reset ke arah baru, yang lebih baik.”
Selepas dari rumah sakit, seorang teman lain menelpon. Hampir satu setengah jam ia bercerita tentang kemelut rumah tangganya. Aku mencoba jadi pendengar yang baik. “Keputusan apapun yang akan lo ambil, jangan lupa libatkan Dia. Jangan sampai lewat pelajarannya. Biarkan Dia kali ini yang menyelesaikannya, apapun itu,” ucapku di akhir percakapan.
Beberapa hari ini, cerita kesulitan hidup datang dalam berbagai versi: sakit keras, kematian orang terdekat, kesulitan ekonomi, hingga kemelut rumah tangga. Bagiku, semuanya adalah pengingat bahwa setiap orang bergulat dengan takdirnya masing-masing. Tidak ada hidup yang mudah, karena memang fitrahnya dunia bukan ruang untuk bersenang-senang. Ia hanyalah jembatan menuju kehidupan abadi—jembatan dengan pelajaran yang harus kita pahami sebelum perjalanan dilanjutkan.