Kapan Manusia Akan Berubah?
Kapan manusia akan berubah?
Pertanyaan ini kerap muncul saat seseorang menghadapi konflik yang membuatnya ingin mengubah satu atau beberapa hal dalam diri orang terdekatnya. Jawaban yang sering muncul adalah: “Ketika dia merasa perlu untuk berubah.”
Ya, perubahan selalu dipandang sebagai sesuatu yang harus datang dari dalam, bukan dari luar. Meskipun secara eksternal kita bisa merancang perubahan perilaku, tetap saja motivasi internal yang kuat adalah pendorong utama perubahan sejati.
Kapan seseorang akan berubah?
Pertanyaan ini dulu juga sering menghantui saya, terutama ketika saya merasa lelah menghadapi perilaku seseorang yang menurut saya kurang tepat, dan tampak tidak pernah disadari olehnya. Hingga akhirnya saya menyadari satu hal penting: kita tidak bisa memaksa seseorang untuk berubah. Perilaku seseorang bukanlah wilayah kendali kita. Itu adalah urusannya dengan Tuhan.
Salah satu pengalaman yang masih saya ingat dengan baik dari masa dewasa awal adalah sesi saling memberi feedback di salah satu kelas. Saat itu, dosen kami menjelaskan tentang Johari Window, konsep yang menggambarkan empat jendela dalam konteks kesadaran diri:
- Aku tahu, kamu tahu
Merujuk pada segala hal yang diketahui baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain. Contohnya: warna kulit, tinggi badan, makanan kesukaan – hal-hal yang tampak nyata. - Aku tahu, kamu tidak tahu
Hal-hal yang hanya kita ketahui, namun tidak diketahui orang lain: rahasia pribadi, pikiran yang tak diutarakan, perasaan terdalam. - Aku tidak tahu, kamu tahu
Area blind spot, sisi diri yang tidak kita sadari, namun tampak bagi orang lain. Misalnya sifat buruk, kebiasaan tertentu, atau bahkan keunikan yang luput dari pengamatan diri sendiri. - Aku tidak tahu, kamu tidak tahu
Segala hal yang tidak diketahui oleh siapa pun, seperti masa depan, kematian, takdir, atau potensi terpendam.
Idealnya, kita memperkecil area blind spot (jendela ketiga) dengan cara membuka diri terhadap feedback dari orang lain. Interaksi dan masukan bisa menjadi cermin yang menunjukkan kelemahan diri, asal kita tidak mudah tersinggung dan mau melihatnya sebagai peluang tumbuh.
Saat sesi kelas berlangsung, kami diminta saling memberikan feedback. Mahasiswa yang akan diberi masukan diminta keluar kelas terlebih dahulu, agar teman-temannya bisa berdiskusi dan menyepakati masukan yang jujur namun membangun, baik tentang kelebihan maupun kelemahan yang tampak.
Sesi ini sangat berkesan bagi saya. Sebagai anak kampung yang baru merantau ke kota besar, model pembelajaran seperti ini sangat menarik dan menyenangkan. Suasana kelas pun hidup, penuh tawa dan ketegangan kecil karena semua menunggu giliran. Kami mendapatkan masukan yang bermakna dan memori yang membekas.
Tapi… apakah setelah sesi itu kami langsung berubah? Sayangnya, tidak juga.
Mengetahui kelemahan tidak otomatis membuat kita mengubahnya. Pengetahuan hanya menyentuh aspek kepala, sementara perubahan terjadi ketika sudah menyentuh perilaku. Dan untuk itu, dibutuhkan satu hal lagi: hati.
Psikoanalis Karen Horney pernah mengatakan bahwa banyak orang tahu penyebab gangguan neurotis mereka, namun tetap tidak berubah. Bahkan, pengetahuan itu kadang menjadi alasan untuk memaklumi kelemahan diri sendiri. Dibutuhkan kekuatan dari dalam, tekad dan keberanian untuk benar-benar mengubah diri.
Dalam Islam, kita mengenal istilah hidayah dan taufik. Hidayah adalah pengetahuan atau petunjuk. Taufik adalah kemampuan untuk mewujudkannya dalam tindakan nyata. Kita dianjurkan memohon keduanya kepada Allah, agar mampu mengubah hal-hal buruk dalam diri.
Seiring waktu, saya menyadari bahwa Allah banyak membuka lapisan diri saya melalui kejadian-kejadian dalam hidup, terutama ujian. Dari situ saya belajar: bagaimana saya bereaksi, apa isi pikiran saya, atau bagaimana cara saya memandang sesuatu. Masalah-masalah yang datang membuat saya tersentak, menyadarkan bahwa banyak hal yang belum saya pahami tentang diri sendiri.
Doa saya pun berubah. Jika dulu saya berdoa agar Allah mengubah orang lain atau situasi eksternal, sekarang saya lebih sering berdoa agar Dia menunjukkan kesalahan dalam diri saya, dan memberi saya kekuatan untuk memperbaikinya.
Doa ini, yang terasa lebih dalam dan jujur, secara perlahan membentuk pribadi saya menjadi berbeda. Tentu saya tetap mendoakan agar semua pihak yang terlibat juga diberi pemahaman, agar kita bisa bertumbuh bersama dari masalah yang dihadapi.
Kini saya lebih berhati-hati saat merasa “saya benar dan orang lain salah”. Terlalu banyak kesalahan saya di masa lalu untuk merasa tinggi. Lagipula, perilaku dan prasangka orang lain adalah urusannya dengan Tuhan, bukan urusan saya.
Jadi, bagaimana seseorang bisa berubah?
Menurut saya, perubahan bukan hanya soal pengetahuan, tapi soal dorongan kuat untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dan dorongan ini, sering kali, datang dari campur tangan Tuhan. Saat cahaya-Nya masuk ke dalam hati, hal-hal yang tersembunyi mulai tampak. Ketika kasih-Nya menyentuh, muncul kerinduan untuk mendekat, yang dengan sendirinya menggerakkan perubahan.
Intinya: jangan berusaha berubah sendirian. Mohon pertolongan-Nya. Selalu.