TENTANG SORE, TAKDIR, DAN IMAN
Pernahkah kamu ingin mengulang waktu dan kembali ke masa lalu untuk mengubah hal buruk yang terjadi dalam hidupmu? Pernahkah kamu menyesali keputusan yang pernah kamu ambil di masa lalu dan berandai-andai mengambil pilihan yang berbeda?
Saya pernah melihat video yang mewawancarai beberapa orang secara acak dan bertanya: jika bisa kembali ke masa lalu, apa yang akan mereka ubah? Atau jika bisa bertemu dengan diri mereka di masa lalu, apa yang akan mereka katakan? Banyak dari mereka menjawab bahwa ada hal-hal yang mereka sesali dan ingin ubah, agar hal buruk tak terjadi di masa depan. Kita pikir mungkin bisa, jika waktu bisa diulang.
“Hai, saya Sore, istri kamu dari masa depan.”
Narasi ini menjadi pembuka pertemuan Jo dan Sore, yang diulang-ulang dalam film dengan cerita yang kuat ini. Sore, sang istri dari masa depan, datang ke Jo di masa lalu untuk mengubah beberapa hal dalam hidup Jo. Agar mereka bisa lebih lama bersama di masa ini. Sore mencintai Jo begitu dalam, sampai ia berkata akan tetap memilihnya jika ada sepuluh ribu kemungkinan kehidupan untuk bertemu kembali.
Cerita ini adalah tentang kehilangan. Kehilangan seorang istri yang begitu mencintai, hingga sulit menerima kepergiannya. Cinta yang romantis, tapi juga buta.
Seberapa sering kita ingin mengubah takdir?
Dulu saya pernah berandai-andai: bagaimana jika saya dulu memilih keputusan yang berbeda? Bagaimana jika saya memilih yang ini, bukan yang itu? Apa yang akan terjadi pada hidup saya? Apakah saya akan lebih bahagia? Mirip-mirip dengan Sore, saya pun pernah menolak takdir, dengan cara yang lain.
Sampai kemudian saya memahami inti lain dari takdir. Guru saya selalu berkata, pada dasarnya, semua yang terjadi di dunia ini telah digariskan. Tinta telah kering, pena telah dituliskan. Tidak ada yang bisa kita ubah. Kita memang diberi banyak pilihan, tapi dari sekian banyak kemungkinan itu, bisakah kita benar-benar tahu bagaimana akhirnya? Penentu akhir tetaplah Dia Ta’ala.
Lalu, untuk apa kita berusaha jika semua telah ditakdirkan? Dalam seribu satu kemungkinan ini, bagaimana kita memilih? Apakah ada Dia dalam pilihan-pilihan itu? Inilah tugas kita: memilih sesuai kehendak-Nya, lalu menjalaninya dengan takzim dan penerimaan. Inilah yang disebut tawakal.
Dalam konteks ini, saya pun mulai memahami mengapa beriman kepada qadha dan qadar berada di urutan terakhir dalam rukun iman. Karena untuk menjalaninya dengan sepenuh hati, dibutuhkan pondasi yang kuat dari lima rukun iman sebelumnya:
- Keyakinan pada Tuhan yang tidak akan pernah zalim kepada hamba-Nya,
- Keyakinan pada Malaikat yang gaib yang selalu ada di sekitar kita, meski tak terlihat
- Keyakinan pada kitab yang memuat kisah-kisah orang shalih terdahulu,
- Keyakinan pada Rasul sebagai teladan saat menghadapi ujian,
- Keyakinan pada hari akhir yang mengingatkan bahwa hidup tak hanya tentang dunia ini.
Iman yang sangat sulit, sehingga seorang Sore harus mengulang waktu berkali-kali karena tak sanggup menerima takdir buruk. Sehingga seorang Jo harus menderita bertahun-tahun, memendam rindu dan luka pada ayahnya.
Iman yang, sejauh pemahaman saya hari ini, menjadi ‘gong’-nya iman kepada Tuhan: tanda orang yang ikhlas. Yang susah dan senang tak lagi dibedakan. Orang yang Allah ridhai karena ia ridha atas takdir-Nya. Orang yang akan pulang pada-Nya dengan jiwa yang tenang. Nafsun muthmainnah.
Iman yang mungkin – meski semua ritual agama telah kita jalani dengan baik – masih juga tertatih kita pegang saat ujian datang. Iman yang sulit, tapi sangat layak untuk diperjuangkan.
Jadi, jika kembali ditanya:
Adakah yang ingin kamu ubah dari masa lalumu jika waktu bisa diulang? Semoga jawabannya ‘Tidak Ada’ dengan sepenuh hati dan jiwa.
Semoga kita diberi kekuatan oleh Allah SWT untuk memahami makna dari setiap kesulitan yang datang.
Semoga Sore dapat menerima takdir buruk yang menimpanya, tanpa harus mengulang hidup berkali-kali yang menyakitkan, untuk melewatinya.