DI ANTARA DUA CINTA: IBU DAN ANAK
Minggu lalu bukan minggu yang mudah untuk saya. Rabu lalu, saat sedang memberikan training untuk tim salah satu kopi terkemuka di Indonesia, beberapa panggilan telepon dari keluarga di Bengkulu masuk. Tidak hanya satu, tapi dari beberapa kakak dan adik saya sekaligus. Saat itu hari kedua training dan kebetulan handphone saya tertinggal, sehingga saya tidak dapat mengangkatnya. “Ibu sakit, pingsan, kamu kalau bisa pulang sekarang.” Demikian kira-kira pesan yang saya terima dari keluarga di pulau seberang.
Sambil terus memantau kelas dan mendampingi suami, saya memonitor keadaan ibu. Sayangnya, tidak ada penerbangan yang tersedia hari itu, sehingga saya tidak mungkin berangkat. Dalam keadaan kalut dan perasaan tidak menentu, saya kembali meneruskan mengajar hingga selesai.
Pekan itu, sebenarnya si sulung pun sedang ada di Indonesia. Sudah beberapa hari kami belum banyak berinteraksi karena kesibukan saya bekerja. Jadwal kantor dan training yang membuat saya harus berangkat pagi, membuat saya hanya sempat mengobrol di malam hari dengannya. Padahal, dia hanya punya waktu seminggu di Indonesia dan sudah memutuskan untuk lebih banyak berdiam di rumah saja. Kami juga sudah berencana untuk menghabiskan waktu bersama dan mengunjungi beberapa tempat setelah training berakhir. Namun, rencana tersebut sepertinya harus di-reschedule karena kondisi ibu saya yang tidak menentu.
Setelah menghabiskan satu hari bersama si sulung, sekaligus memulihkan tubuh yang kelelahan, saya akhirnya berangkat ke Bengkulu. Kondisi ibu mulai membaik. Kesadarannya perlahan pulih sehingga hati anak-anaknya pun mulai tenang. Jumat siang, selepas mendarat, saya langsung menuju rumah sakit dan menetap di sana selama dua hari ke depan.
Ada satu peristiwa di tengah kejadian ini yang membuat saya sempat berada dalam dilema, dan berpikir tentang peran yang saya jalani di dunia ini. Hal ini terkait dengan keberangkatan Radja kembali ke Jepang pada Senin pagi. Saya sempat bingung kapan sebaiknya kembali ke Jakarta.
Hari Sabtu, kondisi ibu terus membaik dan cukup stabil. Dokter memperkirakan beliau sudah bisa pulang ke rumah keesokan harinya jika kondisinya tetap stabil. Saya sempat berpikir untuk kembali ke Jakarta di Minggu sore (dengan penerbangan terakhir), agar bisa menemui Radja sebelum ia berangkat ke Jepang pada Senin siang. Jika ada apa-apa, saya pikir saya bisa segera kembali, karena jarak Bengkulu–Jakarta tidak terlalu jauh jika ditempuh dengan pesawat udara.
Beberapa kerabat juga menyarankan demikian. Bagaimanapun, Jakarta–Hiroshima bukanlah jarak yang dekat. Radja datang dalam liburan singkat ini untuk menemui saya, menghabiskan waktu di rumah, karena hingga tahun depan dia belum tahu akan bisa pulang lagi atau tidak, mengingat jadwal magang dari kampus yang akan segera berlangsung di liburan musim panas.
Tidak mudah bagi saya untuk memutuskan dan mengompromikan keduanya. Di satu sisi, ibu saya adalah belahan jiwa yang sedang ingin bersama anaknya. Di sisi lain, ada seorang anak yang juga ingin bertemu dengan ibunya.
Sebenarnya ada satu pilihan yang menurut saya paling baik: pulang di Senin pagi, dengan penerbangan paling awal, untuk bertemu Radja di bandara sebelum ia naik pesawat. Dengan begitu, saya masih punya cukup waktu bersama ibu. Namun, hal ini sangat berisiko, mengingat penerbangan di Indonesia yang seringkali tidak tepat waktu. Saat berangkat ke Bengkulu, saya mengalami penundaan selama dua jam, dan harus menunggu tiga jam di bandara.
Riwayat perjalanan saya dengan pesawat juga menunjukkan lebih dari separuhnya mengalami delay. Dalam penerbangan domestik kita, keterlambatan sudah menjadi hal yang sangat umum saya alami selama bepergian. Pilihan ini cukup berisiko—jika penerbangan terlambat, bisa dipastikan saya tidak bisa bertemu Radja dan mengantarkannya ke bandara.
Pilihan yang sangat sulit untuk saya. Dalam kebingungan itu, saya menyadari: Allah sedang menempatkan saya di titik memohon pilihan terbaik dan keputusan terbaik dari-Nya. Di tengah dilema, saya tak putus-putus berdoa. Setelah doa yang cukup panjang, saya akhirnya mengambil pilihan terakhir ini, seraya terus memohon agar tidak ada hambatan dalam penerbangan. Saya memohon agar Allah mengatur semuanya, agar saya bisa lebih lama bersama ibu, dan tetap bisa bertemu anak saya sebelum kepulangannya ke tanah rantau.
Senin pagi, setelah menemani ibu di rumah, saya terbang kembali ke Jakarta. Alhamdulillah, penerbangan kali ini berjalan tepat waktu, sehingga saya masih dapat bertemu Radja di bandara. Saya juga sempat membekalinya dengan oleh-oleh khas Bengkulu, yang akan dibaginya dengan rekan kerja dan teman-temannya di sana. Allah mengatur semuanya dengan begitu baik, seperti hal-hal lain dalam hidup saya.
Dalam hidup ini, kita menjalani banyak peran. Di satu waktu kita adalah anak, di lain waktu kita adalah ibu. Kita juga bisa jadi pekerja, atau anggota masyarakat, atau bagian dari komunitas. Peran-peran ini menuntut waktu dan tenaga kita untuk dijalani sepenuh hati. Kadang kala, konflik terjadi antar peran, seperti yang saya alami. Dan kadang, pilihan sulit harus dibuat.
Bagaimana kita menghadapkan hati saat peran-peran ini kita mainkan—itulah pelajaran yang saya rasakan dari peristiwa kemarin. Siapa yang memutuskan untuk menjalankan apa? Bagaimana saya mengambil keputusan? Apa dasar pertimbangan dalam menjalani semua peran? Apakah semata-mata sebagai manusia yang beradab, atau sebagai Hamba Tuhan yang sedang dititipi?
Bagi saya, peran-peran ini adalah titipan. Dia adalah bagian dari perjalanan. Perjalanan dari satu titik ke titik kembali, yang mengantar kita kepada Tuhan. Karena itu, kita selalu menghadapkan wajah pada-Nya—Sang Pemberi Peran—saat menjalaninya.
Semoga kita selalu dapat mengingat hal ini.
Amin ya Rabbal ‘Alamin…