| |

RAMADHAN SAYA

Saya dibesarkan di sebuah perkampungan padat penduduk dengan aktivitas keagamaan yang cukup intens. Saat kecil, Ramadhan adalah bulan yang paling saya nantikan. Puncak kegiatan keagamaan di lingkungan ini berlangsung sepanjang Ramadhan hingga beberapa hari setelah Idul Fitri. Lingkungan tempat saya tinggal dipenuhi beragam kegiatan, yang diikuti baik oleh orang tua maupun anak-anak. Suasananya mirip ‘Pesta Rakyat’ setahun sekali—ramai dan meriah.

Mulai dari tarawih khusus anak-anak, pesantren kilat remaja selepas tarawih, hingga beragam lomba anak-anak menjelang akhir Ramadhan. Saat remaja, saya menjadi kakak pendamping anak-anak, mengisi acara dan melatih mereka untuk mengikuti lomba. Keramaian ini juga semakin semarak dengan adanya pasar dadakan yang hanya muncul saat Ramadhan di sekitar masjid.

Salah satu momen favorit saya selepas tarawih adalah nongkrong bersama teman-teman di warung mie ayam pangsit langganan. Tidak hanya mie ayam pangsit, ada banyak jajanan yang biasanya diserbu anak-anak sepulang tarawih—termasuk kami. Kemeriahan ini berlanjut hingga Idul Fitri, dengan tradisi silaturahmi rombongan anak-anak keliling kampung. Mereka mengunjungi para tetua sekaligus berburu angpao lebaran. Benar-benar seperti pesta rakyat bagi kami.

Namun, setelah dewasa dan pindah ke daerah lain, saya menyadari bahwa Ramadhan di tempat lain tidak semeriah ini. Bahkan, perayaan lebaran hanya terasa di pagi hari setelah salat Id, sebelum orang-orang sibuk berkunjung ke rumah saudara masing-masing. Tahun-tahun Ramadhan dan lebaran yang sepi ini sempat membuat saya homesick jika tidak pulang kampung.

Kenangan Ramadhan dan lebaran yang meriah ini terbawa hingga saya memiliki anak. Saat mereka kecil, saya ingin mereka merasakan suasana yang sama. Karena di lingkungan kami hanya ada tarawih bercampur dengan orang dewasa, saya menciptakan kemeriahan dengan cara lain—makanan berbuka yang bervariasi, baju lebaran yang harus ada, hingga berburu takjil di pasar kaget dekat kompleks. Anak-anak saya biarkan memilih penganan yang mereka inginkan, bukan hanya sebagai hadiah karena belajar berpuasa, tetapi juga untuk membangun kenangan khas Ramadhan bersama orang tuanya.

Namun, seiring waktu, pemaknaan saya tentang Ramadhan berubah. Kini, Ramadhan bagi saya terasa seperti sebuah sanctuary—masa-masa untuk masuk ke dalam goa batin, melakukan perjalanan spiritual yang jauh dari keramaian. Ramadhan menjadi malam-malam munajat dan permohonan yang privat, hanya antara saya dan Dia. Saya yang dulu selalu mengasosiasikan tarawih dengan berjamaah di masjid, kini kadang menikmati melakukannya sendiri. Berlama-lama tanpa suara orang lain.

Ramadhan kini berarti kesederhanaan. Momen berbuka yang dulu penuh dengan aneka makanan, kini lebih ringkas—hanya sedikit takjil sebelum hidangan utama. Baju lebaran yang dulu harus ada minimal dua pasang, kini terasa tidak diperlukan lagi, kecuali untuk anak-anak. Semua berubah. Lebih sederhana, ringan, dan mudah. Meskipun tak semeriah dulu, semuanya terasa lebih indah.

Perlahan, saya tak lagi menunggu lebaran seperti saat kecil. Ramadhan adalah puncaknya. Setiap malam yang berjalan adalah kesempatan berharga yang hanya datang setahun sekali. Anak-anak pun saya ajarkan untuk memaknai bulan suci ini dengan cara yang berbeda. Ramadhan adalah tamu agung, yang entah akan ditemui lagi atau tidak di tahun depan.

Perubahan ini membawa kebahagiaan yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Sebuah transformasi yang, insyaAllah, diridhai dan diberkahi-Nya. Semoga Dia genapkan dengan nikmat lainnya di bulan suci ini.

Selamat menjalankan ibadah puasa. Selamat berjalan ke dalam diri dan berefleksi sepanjang bulan ini. Semoga di akhir Ramadhan, kita memahami hakikat penciptaan diri kita. Amin amin ya Rabbal ‘Alamin.

Similar Posts

  • | | |

    LUKA BATIN

    Dalam ilmu psikologi saya belajar bagaimana mengelola emosi dengan baik. Mulai dari meredam gejala dengan ‘inhale-exhale’, mengubah posisi tubuh saat emosi negatif muncul, hingga mengambil wudhu, mengambil waktu jeda, agar tidak meledak tanpa kendali. Saya juga belajar mengelola emosi dari menerima emosi tersebut, mengakuinya, mencari penyebabnya, hingga mencoba menguasai skill-skill yang dibutuhkan, -seperti komunikasi assertif,…

  • | | | |

    MARAH

    Pernah merasakan marah yang besar pada sesuatu atau orang lain? Sebagian besar orang pasti pernah merasakannya ya. Perasaan marah, jengkel, kesal dan nama turunan lainnya, yang mendorong kita untuk bertindak keras, kasar, di luar kebiasaan sehari-hari karena kuatnya dorongan energi dari perasaan ini. Ya, perasaan yang kuat itu mengandung energi yang besar. Dia, jika tidak…

  • HATI YANG LAPANG

    Siang itu langit mendung, suara angin terdengar beberapa kali dari jendela apartemen yang aku tempati. Bag bug bag bug, menghantam melalui celah jendela yang tidak tertutup rapat. Cuaca siang itu sepertinya tidak terlalu baik, tapi aku harus tetap keluar menyelesaikan urusan yang sudah lama tertunda. Kukemasi barang-barang dan memutuskan untuk berangkat ke area perkantoran, tidak…

  • LIFE IS SO FRAGILE

    Pekan ini sebenarnya merupakan pekan yang cukup lowong untuk saya, karena belum ada training yang berlangsung, setelah beberapa pekan lalu cukup padat. Saya sudah merencanakan untuk menyelesaikan beberapa persiapan training dan juga memfollow up beberapa klien, agar semua pekerjaan bisa terhandle sebelum jadwal training yang padat berjalan kembali. Seperti biasa, pagi itu saya berangkat kerja…

  • | | |

    INSPIRASI

    (CATATAN 18 NOVEMBER 2022) Kemarin hari yang sangat mengesankan bagi saya. Allah menghadirkan sebuah pelajaran langsung, bagaimana individu berkebutuhan khusus dapat berdaya maksimal, jika diberi kesempatan, di hari terakhir training yang saya ikuti. Minggu ini sebenarnya merupakan minggu yang agak melelahkan. Setelah perjalanan panjang keluar kota, jadwal training padat dari Senin hingga Kamis. Puncaknya di…

  • |

    KAWAH PUTIH

    Udah lama pengen ke tempat ini, Alhamdulillah akhirnya kesampaian Minggu kemarin. Sebelumnya pernah ke sini juga, cuma karena hujan deras, akhirnya gak bisa naik ke kawah. Alhasil memutuskan kembali ke Jakarta bersama rombongan. Perjalanan ke sini memakan waktu yang cukup panjang. Berangkat jam 10.00 pagi, tiba di sini pukul 15.30 sore. Lama banget ya…selain karena…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *