LIFE IS SO FRAGILE
Pekan ini sebenarnya merupakan pekan yang cukup lowong untuk saya, karena belum ada training yang berlangsung, setelah beberapa pekan lalu cukup padat. Saya sudah merencanakan untuk menyelesaikan beberapa persiapan training dan juga memfollow up beberapa klien, agar semua pekerjaan bisa terhandle sebelum jadwal training yang padat berjalan kembali.
Seperti biasa, pagi itu saya berangkat kerja dengan hati riang, memulai hari dengan mengecek email, merespon wa diselingi obrolan dan senda gurau dengan rekan kerja. Tidak ada firasat akan terjadi hal yang berat hari ini, saya bekerja berdasarkan jadwal yang sudah saya susun sebelumnya.
Menjelang pukul 12 handphone saya berbunyi. Sebuah telpon dari nomor asing masuk. Saya tidak merespon panggilan tersebut untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Karena saya memegang nomor marketing kantor, beberapa kali telpon yang masuk adalah telpon iseng dan menjurus pada pelecehan. Jika memang penting, pasti org tersebut akan me WA, pikir saya.
Telpon berdering beberapa kali. Saya belum sempat membuka WA karena sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan yang dikejar deadline. Saya pikir nanti saja akan saya buka.
Telpon berdering beberapa kali, saya mulai merasa tidak enak. Angkat gak angkat gak, dengan bimbang dan bersiap-siap jika menerima telpon iseng lagi, saya memutuskan untuk mengangkat telpon tersebut.
‘Ibu, anak ibu kecelakaan. Ibu pulang sekarang.’ Saya kaget mendengar berita ini, namun berusaha tetap tenang karena masih khawatir kalau ini penipuan. ‘kecelakaan dimana Pak?’ saya mencoba menggali info lebih lanjut.
Bapak yang menelpon saya dengan cepat menjelaskan kecelakaan terjadi di pertigaan kalibata. Motor yang biasa mengantar jemput anak saya menabrak truk. Kondisi anak saya luka ringan, dan sekarang sudah dibawa ke apartemen tempat saya tinggal. Kondisi pengemudinya masih tidak sadarkan diri saat ditinggalkan. Tidak ada yang berani mengantarkan ke rumah sakit karena kondisinya luka parah. Motor yang digunakan hancur di bagian depan dan tidak bisa dinyalakan kembali.
Seketika saya lemas mendengarnya. Saya melihat foto anak saya dan motor yang dikirimkan oleh Bapak yang menolong anak saya tersebut. Seketika saya sadar bahwa situasinya cukup kritis. Galau, kalut, lemas, sedih, panik, semua campur jadi satu. Saya dan suamipun pun bergegas pulang.
Waktu 40 menit perjalanan terasa lama sekali. Di sepanjang jalan saya menelpon anak saya, memastikan kondisinya. Ada 2 orang ibu dan satu orang bapak yang menemaninya di lobi apartemen. Mereka bersedia menunggu sampai saya tiba, untuk memastikan anak saya baik-baik saja hingga bertemu orang tuanya. Hingga kini saya merasa berterima kasih sekali atas kebaikan hati mereka ini. Hanya Allah yang dapat membalasnya.
Tiba di apartemen saya langsung memeluk Banua. Dia menangis meskipun berusaha untuk tenang. Sekilas hanya terlihat luka lecet di tangan kaki dan memar di atas mata. Dia tidak ingat peristiwa nya seperti apa, menurut saksi mata ini, dia sempat terkapar di jalan. Kemungkinan sempat pingsan, meskipun dia mengatakan mungkin dia tertidur saat peristiwa kritis tersebut terjadi.
Kamipun bergegas membawanya ke Rumah Sakit. Bersamaan kami juga mendengar kabar, Dhian – driver sekaligus saudara yang biasa mengantar jemput Banua – juga dibawa ke rumah sakit tersebut. Kami ingin memastikan keadaannya.
Segalanya berubah cepat. Banua diperiksa intensif. Kepalanya dirontgen dan juga diperiksa dengan CT Scan, utk memastikan tidak adanya pendarahan atau pun cidera serius lainnya. Dhian masih tidak sadarkan diri, kondisinya membuat saya ingin menangis juga. Ruang IGD penuh, beberapa kali terdengar suara Dhian yang sepertinya kejang karena pendarahan di otak.
Banua ditanyakan kembali oleh dokter tentang kronologi kejadian, dia tidak ingat apa yang terjadi. Hanya ingat dibawa ke apartemen dan saat di pertigaan sebelum peristiwa terjadi. Banua terlihat lelah. Dia beberapa kali menangis karena masih shocked dan sedih melihat kondisi Dhian. Air matanya deras mengalir dan saya tahu situasi ini pasti sangat sulit untuknya.
‘Ini gara-gara aku, kalau Om Dhian gak antar jemput aku, pasti gak akan terjadi.’ Saya memeluknya erat-erat dan mencoba untuk menahan tangis juga. Pelan-pelan saya menenangkannya, ‘It is OK kalau Adek mau menangis, ini pasti berat sekali, gak papa ya Nak, menangis saja. Ini bukan salah Adek ya, kehendak Allah semua terjadi’.
Banua sesengukan beberapa kali. Hati saya teriris-iris. Meskipun paham P3K Psikologi, namun mempraktikannya pada anak sendiri di tengah kekalutan pribadi tentang kondisinya, sungguh tidak mudah. Berdua kami menenangkan diri, istighfar yuk Nak, kita minta pertolongan Allah agar lebih lega. Banua mengangguk. Sesungguhnya saya juga sedang menenangkan diri sendiri.
Waktu berlalu, kondisi Banua mulai tenang. Kedatangan abangnya cukup menghiburnya. Tak lama dokter memanggil saya. Hasil CT Scan dan Rontgen Banua Alhamdulillah baik. Tidak ada tanda penyumbatan atau cidera serius di otak. Berulang kali saya bersyukur, kondisi Banua relatif baik-baik saja meskipun tabrakannya terjadi cukup keras. Rasanya seperti mukjizat yang Allah kirimkan hari itu.
Dokter meminta Banua utk tetap dirawat inap untuk memastikan kondisinya baik-baik saja. Kami menyetujuinya mengingat dia sepertinya sempat pingsan saat peristiwa terjadi. Saya pun mengurus pendaftaran rawat inap Rumah Sakit. Dari sini dimulailah keriwehan lain, mondar mandir mengurus administrasi Rumah Sakit, di tengah puasa dan perasaan yang tidak menentu. Tak terbilang rasanya saat itu.
Hari itu semua seperti terbalik tiba-tiba. Segala galanya berubah dengan cepat. Tertawa saya di pagi hari, berubah menjadi kegetiran di siang harinya. Perasaan hari akan berjalan dengan santai dan lowong, berubah menjadi hiruk pikuk seketika dan sekejab saja. Benar-benar tidak terduga.
Saya seperti disadarkan kembali, hidup benar-benar sefragile itu. Beberapa menit sebelum saya menerima kabar kecelakaan, saya sempat men- WA Dhian, mengabarkan saya sudah mentransfer sisa fee nya Minggu ini. Saya juga meminta bantuannya untuk mengingatkan Banua membawa naik SayurBox yang saya pesan. WA ini tidak bisa dibaca olehnya hingga sekarang .
Saya sudah menyusun rencana utk hari itu. Sederet pekerjaan yang akan saya selesaikan, makanan berbuka yang akan saya masak pulang kerja nanti, rencana tarawih kembali bersama anak-anak di masjid, setelah sehari sebelumnya absen karena kaki saya sakit. Dan hal-hal lainnya yang saya kira bisa saya lakukan. Sekejab semuanya hilang, berganti kepanikan dan kesedihan. Benar-benar cepat dan seperti membalikkan telapak tangan.
Tidak ada yang bisa kita pastikan dari masa depan kita. Tidak ada. Saya seperti ditegur kembali, bahwa apapun yang saya rencanakan, cuma Dia yang punya kuasa mewujudkannya. Bahwa hidup ini rapuh dan memang hanya sekejab saja. Saya diingatkan kembali, kalau kita hanya melihat sebatas dunia saja, habislah kita dipermainkannya. Susah senang, manis pahit, gembira sedih, akan dipergilirkan, akan terus menghantam kita utk mengingatkan kerapuhan dunia. Dunia bukan tempat kita, hidup setelah ini yang sebenar-benarnya tempat kembali.